SAFARDY BORA
Alhamdulillāh, Indonesia kembali disapa secercah harapan dari ufuk barat Sulawesi. Gagasan brilian yang digulirkan oleh Gubernur Sulawesi Barat, Suhardi Duka, tentang kewajiban membaca minimal 20 buku sebagai syarat kelulusan bagi siswa SMA/SMK, bukan hanya kebijakan administratif, melainkan langkah strategis membangun peradaban. Dalam kebijakan ini, kita tidak sedang bicara angka—melainkan ruh pengetahuan yang ditanamkan sejak muda dalam benak generasi pewaris negeri.
Di tengah gelombang distraksi digital dan dangkalnya minat baca, SDK hadir dengan ketegasan intelektual: membaca adalah syarat lulus. Ini bukan pemaksaan, tapi penanaman nilai. Dua dari dua puluh buku itu bahkan memuat narasi tokoh lokal, Andi Depu dan Baharuddin Lopa, sebagai afirmasi identitas kultural dan teladan karakter luhur dari tanah Mandar.
Gagasan ini patut diteladani oleh Pemda, Pemkot, bahkan seluruh Pemerintah Provinsi se-Indonesia. Sebab, literasi bukanlah domain eksklusif para akademisi; ia adalah fondasi pembangunan. Negara-negara maju tidak dibangun dengan beton semata, tetapi dengan pemikiran yang dipelihara dari halaman-halaman buku.
Secara ilmiah, literasi berperan sebagai katalis pengembangan berpikir kritis (critical thinking), peningkatan keterampilan metakognitif, dan pembentukan empati melalui pengenalan ragam narasi. Pendidikan yang hanya mengejar nilai tanpa membaca, adalah pendidikan tanpa akar. Sementara membaca menumbuhkan akar kognitif dan afektif siswa agar kelak tumbuh menjadi pohon-pohon pemimpin yang kokoh dalam moral dan bermanfaat dalam sosial.
Dari sudut pandang sosiologis, instruksi membuka pojok baca dan perpustakaan mini di instansi pemerintah adalah terobosan penting dalam perluasan public literacy space. Ini bukan sekadar ruang buku, melainkan ruang tumbuhnya gagasan, ruang dialog sunyi antara pembaca dan semesta makna.
SDK, dalam surat edarannya, juga tidak lupa membuka jalan bagi dukungan konkret: penggunaan dana BOS untuk sarana perpustakaan, serta penyiapan tenaga pengelola. Ini bukti bahwa kebijakan ini tidak sekadar retorika, tetapi sistematis dan berakar pada regulasi.
Maka, tak berlebihan jika kita menyebut kebijakan ini sebagai revitalisasi pendidikan melalui literasi. Ia membawa pesan moral: bahwa kecerdasan bukan warisan, melainkan hasil jerih payah memahami dunia—lewat membaca.
Gagasan SDK ini adalah gema zaman, isyarat bahwa pendidikan sejati tidak berhenti di ujian, tetapi hidup dalam pengalaman membaca dan memahami. Semoga gema ini sampai ke seluruh pelosok Nusantara, dan menjadi cermin bagi para pemimpin daerah lain untuk berani menanam peradaban—lewat buku.
Salam dari Kaltim
Safardy Bora
Keren Pak SB, ...
BalasHapus