Episode Kedua
Lamasariang: Tanah Penjagaan, Masjid yang Berdiri dalam Ingatan
Lamasariang—nama itu tumbuh pelan-pelan dari tanah Mandar yang permai, seperti pohon yang menua di hati angin. Ia bukan sekadar sebutan kampung, melainkan gema dari masa silam, bisik dari leluhur yang menitipkan makna. Dari kata “lama” yang berarti tempat, dan “sariang” yang berarti penjagaan dalam bahasa tua, tersusunlah satu nama yang harum: tempat yang dijaga. Dijaga oleh lembang Punnagza yang mengalir setia, oleh rumah-rumah kayu di Manjopai yang bersandar pada waktu, oleh gumuk tenang Tammangalle, dan langit yang selalu menyorot simpang empat Karama dan Pandebulawang dengan tatapan biru yang panjang.
Tidak ada catatan resmi yang menuliskan sejak kapan kampung ini hidup. Tapi pohon-pohon lontar yang berdiri sabar di tepian tanah, dan debu jalan yang tak kunjung lelah dilalui kaki orang pulang, menjadi saksi bahwa Lamasariang sudah lama menampung kisah. Sebelum kepala desa pertama dikenal, kampung ini telah menjelma rumah—dengan rumah-rumah panggung dari kayu hasil tebasan peluh dari Oting dan Pandebulawang. Tempat ini menerima siapa saja yang ingin berteduh, seakan ia tahu: semua yang datang akan jatuh cinta.
Pada masa negeri masih belajar mengeja damai, pos tentara Resimen Infanteri 710 berdiri kokoh di Lamasariang, dipimpin oleh Andi Selle. Kala itu, kampung ini bukan sekadar hunian, melainkan titik strategis penghubung Makassar dan Mamuju. Setelah pasukan berpindah, tanah itu tidak tidur. Masyarakat menjadikannya tempat bermain layang-layang dan berkumpul sambil mappsitinda’ lake—tanda bahwa tanah bisa berubah fungsinya, tapi tidak kehilangan maknanya. Tak jauh dari situ, berdiri sebuah masjid tua. Ia tak ubahnya perahu besar yang diam menanti badai. Di sanalah doa-doa berkumpul, dan kelak, sebuah keajaiban lahir.
Gempa pada 11 April 1967 (magnitude 6,3) memicu tsunami di Teluk Mandar
Kemudian pada 14 Oktober 1969, bumi menggeliat tak biasa. Gempa besar kembali mengguncang Mandar —tercatat hingga 6,9 skala Richter. Tanah merekah, air sumur menghitam, dan udara seakan menggantung. Masjid tua di lamasariang roboh perlahan. Tiang-tiang kayunya patah, atapnya rebah seperti doa yang belum sempat selesai. Namun dari reruntuhan, muncul sosok Pua Juhena, keluar dengan langkah tertatih tapi selamat. Tanda Abariah kecil menyaksikannya—dalam diam yang haru—dan hingga kini, kenangan itu masih utuh dalam cerita-cerita lisan.
Masjid itu mungkin tak lagi ada dalam bentuk semula, tapi kenangan tentang imam pertamanya, Puayi Guni, tetap kokoh di hati warga. Diperkirakan berdiri sebelum tahun 1959, beliau bukan hanya pemimpin shalat, tapi juga suluh dalam gelap. Setelahnya, muncul Pua Haris dari Karama, seorang annangguru yang mendidik dengan hati yang penuh teduh. Ada pula Abdul Jabbar Kamana i Musu, darah daging Puayi Guni, dan sosok-sosok yang tak kalah harum seperti Ru’ding Kama Suwedah Hatte’ dan Pua Juhenat Bindal—mereka adalah pondasi batin yang tak pernah benar-benar runtuh.
Di masa sebelum listrik masuk, Ramadhan tiba bagai syair gelap yang ditulis cahaya lampu petromax. Lampu gas digantung di kayu yang dirangkai dari rumah ke rumah—milik Kama Maniya, Kama Tanda, Kama Hamar, dan orang-orang mampu lainnya. Cahaya itu menerangi malam-malam puasa. Anak-anak kecil berlari di halaman, menanti denting beduk magrib. Suara mereka seperti mercon kecil yang memecah keheningan dengan tawa.
Di depan masjid, ada sumur tua, kolam yang tak lagi digunakan, dan pohon kelapa tua yang disebut Anjoro Kapal—karena batangnya pendek tidak menjulang seperti tiang kapal yang karam di pasir waktu. Di sana, anak-anak menunggu beduk ditabuh Pua Juhena. Ketika suara itu menggema, mereka pun berlarian pulang untuk berbuka. Malam hari sebelum tarawih, halaman berubah menjadi panggung riang. Anak-anak bermain petak umpet, sementara gadis-gadis menjajakan canggoreng batte dengan senyum malu-malu.
Di sisi lain masjid, dahulu ada pasar pagi yang ramai. Di sanalah denyut ekonomi kampung bergelora. Tak jauh dari situ, berdiri kandang kuda dan rumah penginapan bagi tamu jauh. Di antara mereka yang pernah menginap adalah Pak Ranti—polisi pertama yang ditugaskan di Tinambung. Lamasariang bukan sekadar titik di peta, melainkan pelabuhan bagi mereka yang butuh singgah, butuh pulang.
Saat waktu sahur tiba, Kama Suwedah menjadi yang pertama membangunkan kampung dengan suara toa model corong minyak, dengan kaset-kaset mengaji klasik yang mengalun dari radio kecil. Suaranya tidak nyaring, tapi meresap. Ibu-ibu bangun perlahan, memasak dalam senyap yang ditemani embun. Nasi mengepul dalam kukusan, lauk-lauk sederhana tersaji dengan cinta yang hangat.
Subuh datang, dan anak-anak tak kembali ke ranjang. Mereka berkelompok, berjalan kaki ke Paayumang. Entah apa yang mereka cari, mungkin hanya suasana, mungkin hanya kebersamaan. Tapi langkah itu adalah pelajaran. Tentang hidup, tentang persaudaraan, tentang kampung yang mengajarkan arti menjadi manusia.
Kini masjid telah direnovasi. Tiangnya beton, dindingnya bersih berkeramik. Tapi banyak yang percaya: ruh masjid tetap milik zaman dahulu. Milik imam yang tak dikenal generasi sekarang, tapi doanya masih tercium di langit kampung. Jejak kaki Pua Juhena mungkin sudah hilang, tapi suara langkahnya masih terdengar jika kita menunduk dan benar-benar mendengarkan.
Lamasariang bukan hanya tempat yang dijaga, melainkan penjaga itu sendiri. Ia menjaga kenangan, menjaga persaudaraan, menjaga cinta dalam bentuk yang paling sederhana. Ia berdiri bukan karena semen, tapi karena keringat, karena bakti, dan karena kesetiaan pada tanah dan langit yang sama.
Sejarah tidak selalu ditulis di buku. Ia kadang mengalir dalam mata anak yang melihat ayahnya menggantung petromax, dalam suara lembut ibu yang menyiapkan sahur, dalam langkah kaki anak-anak menuju Paayumang. Lamasariang adalah rumah yang hidup dalam doa. Rumah yang tetap ada, meski waktu berlalu. Rumah yang akan selalu pulang, bahkan jika tubuh tak lagi bisa kembali.
Catatan Hidupku
Safardy Bora
Komentar
Posting Komentar