(Edisi Ke-4) Wattu Tomissang di Lamasariang

Saya pernah nakatutus i Kahar (kama hariah)alias camu gara- gara mambaliwar tomissangna di lalang di pokki. 
Apakah juga anda pernah nakatutus orang gara - gara mambaliwar tomissang??
 Mari mengenal pengalaman masa lalunya sendiri-sendiri...

Episode ke-4 
Wattu Tomissang di Lamasariang

Musim mangga selalu datang dengan bahasa sendiri. Angin membawa aroma yang khas, lembut dan manis, merambat dari pucuk daun hingga halaman rumah, seolah mengabarkan bahwa hari-hari cerah sedang jatuh cinta pada tanah Lamasariang. Pohon-pohon tua berdiri tegak di sepanjang kebun, batangnya menampung sejarah, rantingnya menanggung rindu. Mereka bukan sekadar pohon, tetapi penanda musim, penanda kehidupan yang sederhana namun kaya rasa.

Di kampungku, mangga bukan hanya buah. Ia adalah cerita yang menyatukan. Tomissang, begitu kami menyebutnya. Dari satu pohon ke pohon lain, dari satu rumah ke rumah tetangga, nama-nama mangga kami sebut dengan lidah yang bangga: kaloli, cammi, pa'ambi, ca`bu, ja`ongge, lopi, buyang, molo, kaweni, karoro—dan entah berapa lagi yang tak tercatat di buku, tetapi hidup di ingatan kami. Setiap nama membawa rasa sendiri, warna sendiri, kisah sendiri.

Kaloli adalah raja di antara mereka. Kulitnya berbintik hitam ketika benar-benar matang, manisnya menyalip semua duga. Jika dijadikan kaloe—asam mangga khas kami—ia berubah jadi pelipur lidah yang menyalakan selera di tengah hari yang terik jika dimasak bersama bau oyo atau bau lalia. Musim pakkaloeang, begitu orang menyebut musim mengolah mangga muda, adalah pesta yang tidak pernah tercatat di kalender, tetapi selalu dinanti oleh muda-mudi.

Di sanalah rumah Hajjah Kurumiah menjadi panggungnya. Perempuan ningrat yang menjanda sejak lama itu adalah sosok yang disegani, dihormati, sekaligus ditakuti karena keberaniannya. Hajjah Kurumiah adalah tuan tanah, pemilik kebun dengan pohon mangga terbanyak. Bila musim pakkaloeang tiba, rumahnya seakan menjadi lautan tomissang muda. Bau asam dan harum mangga memenuhi udara, merayap hingga ke jalanan tanah di depan rumah.

Kami, anak-anak kampung, selalu dipanggil beliau Hajjah Kurumiah menyuruh ponakan dan tetangga berkumpul: Abdullah kecil yang masih polos, Burhan yang lincah, Basri, Diris dan Asma, Kudding, Majid, Hasan alias Kolong, Mael, st, aminah kadang-kadang, juga Sikin, Sia, Lotong, Ku'mi, Keccung, dan tentu saja aku sendiri. Di ruang halaman depan, kami duduk melingkar, mengupas kulit mangga muda. Saking banyaknya buah, ketika ditumpuk, orang yang duduk di seberang hampir tak terlihat—seolah dunia kami dipagari oleh dinding mangga hijau.

Jika hari sekolah, inilah yang bikin repot. Kami tak bisa pulang. Hajjah Kurumiah selalu mengunci pintu ketika malam larut. Kadang, saat kami masih sibuk mengupas, beliau sudah masuk kamar dan tidur. Kami pun bertahan sampai mata terasa berat, berharap besok masih sempat mencium aroma kapur tulis di papan kelas. Tetapi di masa itu, segalanya terasa ringan. Tidak ada yang disebut repot ketika tawa sedang meluap di bawah lampu bohlam.

Ketika angin timur berhembus bersamaan dengan musim berbuah mangga, suasana kampung semakin riuh. Angin kering menyapu daun-daun, menggoyangkan dahan hingga mangga satu per satu jatuh ke tanah. Orang-orang pun berkumpul di bawah pohon, menunggu dengan sabar, mata tertuju ke pucuk pohon, telinga waspada mendengar bunyi thud yang selalu memicu sorak dan tawa. Di bawah pohon cammi di depan rumah Keccung Ka’ Ba’du, suasana paling heboh. Sepulang sekolah, anak-anak segera melepas tas dan berlarian ke sana. Ada Harimas, Sitti Mina, Sitti, Lisda, Maslia, Lappas, Tahir, Kombo, Salmiah, Tamsih, adikku Asbidin, dan tentu saja aku dan Asia kittang kadang- kadang. Kami siaga dibawah pohon, ada yang jongkok, ada yang berdiri dengan gaya siap menangkap mangga cammi ra`da`, menunggu buah jatuh sambil bercanda, kadang saling berebut siapa yang lebih cepat mengambilnya. Tawa kami mengalahkan suara angin timur yang kencang.

Begitu waktu berlalu dan tomissang matang di pohon, tibalah musim passulo tomissang—musim memetik mangga. Di sinilah cerita berubah jadi petualangan. Pemuda kampung seakan berlomba jadi pemberani. Yanaka, atau kayana, adalah sosok yang paling diingat. Bersahabat dengan piparakke—tali pengait panjang—ia tak pernah gentar berjalan keluar kampung meski larut malam. Baginya, malam dan hutan sekitar kampung adalah sahabat, bukan lawan.

Kadang, pergi sendiri, kadang berkelompok. Membawa obor dari janur kering, menembus pekat malam. Dari kejauhan, api tampak seperti kunang-kunang raksasa yang menari di bawah langit Lamasariang. Di antara mereka, ada Sundari yang sesekali ikut dengan keranjang di tangan. Banyak anak-anak kecil menyelinap keluar rumah ketika orang dewasa lelap tidur. Ada yang memilih subuh untuk mencari mangga, menyusuri kebun dengan embun yang menempel di kaki.

Aku masih ingat kebun kami di Pandebulawang. Di sanalah tumbuh mangga molo—primadona kami. Jika sudah setengah matang, mangga itu akan dipanjat oleh kama`u. Ia menjulurkan buah dengan tali agar tidak jatuh dan pecah. Setelah terkumpul, kami pikul bersama menuju Lamasariang, disusun di atas tapang—balai kayu tinggi—hingga matang sempurna. Bau manisnya menyeruak, membuat siapa saja yang lewat ingin singgah.

Ketika mangga matang sempurna, tibalah masa menjualnya ke pasar. Aku ikut Kindo`u—mambulle balanu, memikul buah dalam bakul besar  di pundak. Kami berjalan menyusuri jalan tanah pinggir aspal,  sambil menahan rasa sakit di pundak mambulle lembar namun bangga karena membawa hasil kebun sendiri. Musim mangga adalah musim kemakmuran. Sekaligus musim tawa.

Ah, wattu tomissang… waktu yang manis. Saat itulah kampung kami menjadi surga kecil yang tidak dikenal dunia, tetapi hidup megah dalam kenangan. Saat jeruk Belanda, apel Belgia, anggur Cina, atau pir Hongkong, nama buah yang belum kami kenal, mangga sudah cukup untuk membuat bahagia.

Kini, ketika mata menatap kota yang dingin, ingatan tentang musim mangga datang seperti embusan angin sore dari kebun yang jauh. Aku ingin kembali—menyusuri jalan setapak yang pernah menyimpan jejak kakiku, menengadah di bawah pohon tomissang yang tua, dan mencium wangi tanah yang basah oleh hujan pagi.

Rindu Pulang...
Safardy Bora

Komentar