Catatan Muhammad Munir
Tande, jejak peradaban era Tomakaka Mawasa yang kerap berseteru dengan Poralle (Salabose), Salogang (Baruga) dan Lambe Allu (Pambo'borang). Perseteruan yang diakibatkan oleh perebutan kekuasaan dan perluasan tanah negerinya. Perseteruan yang awalnya menggunakan ujung senjata (ekspansi), berubah ke ujung lidah (diplomasi) dan bermuara pada ujung kelelakian (kawin mawin). Dari sini lahir sebuah peradaban baru yang menata diri dan disebut Kerajaan Banggae
Dalam beberapa sumber menyebut Tande dimaknai sebagai Ta-de atau tinggi tidak saja karena wilayah geografisnya yang berada pada ketinggian tapi juga tereja sebagai bentuk karakter yang menjunjung tinggi nilai nilai luhur, sippappas-loa anna li'a. Versi lain menyebut I Tande, sosok yang memiliki postur tubuh yang tinggi, berani, tegas dan sakti manraguna.
Demikian sebuah postulat yang dihimpun dalam dialog kekerabatan Appo Appo Kanne Hudan (Nedang), sosok legenda tanah Lutang yang berbaur dalam kehidupan rumpin adat Tande sampai pelibatannya dalam struktur pemerintahan tradisional Kerajaan Balanipa dari periode Tokape sampai Sanggaria Tonaung Anjoro. Di pemerintahan Sanggaria Tonaung Anjoro.
Diperiode Tonaung Ajoro, Nedang atau Kanne Hu'dang menjadi sosok yang tegas dan tak kenal kompromi dengan Belanda. Sikap ini kemudian membuat pihak adat harus mengevaluasi pemerintahan Sanggaria yang berujung pada pembuangannya di wilayah Langnga Pinrang. Demikian juga Nedang, ia harus terbuang dari Lutang ke Binuang karena kuku tajam Belanda sudah mulai mencakar bumi para daeng Balanipa.
Ada banyak hal yang terserak dari cerita cerita heroik sampai pada lontar silsilah Kanne Hu'dang mulai dikemas oleh Muhammad Munir dan Darmansyah. Keduanya sejak 2016 telah menjadi parner dalam pemajuan kebudayaan. Penelusuran dan napak tilas telah sewindu lalu ia kemas dalam bentuk artikel dan reportase. Pun menjadi buku sebagai bentuk upaya mengikat jejak purba sampai peradaban agraris dan maritim.
Tak mudah memang melakonkan diri sebagai sejarawan, terlebih laron-laron waktu yang terlanjur dikibuli oleh tirani. Tapi atas nama leluhur, keduanya tak ingin menyaksikan kembali sesepuh yang kian hari kian banyak yang menamatkan kisahnya. Orang-orang tua saksi sejarah hilang satu-satu setial saat. Kepergian mereka itu ibarat satu perpustakaan terbakar. Dalam kondisi itu, dibutuhkan keberanian untuk bersikap merekonstruksi sejarah tanpa harus mabuk pada gelaran sejarawan dan budayawan.
Tak ada yang harus curiga keduanya merubah darah merahnya menjadi biru, pun tak layak ia menyandang tomapute cera'na. Satu hal yang pasti: Keduanya hanya ingin meninggalkan warisan sejarah yang lebih refresentatif dalam perspektif arkeolog, filolog dan antropog. Harapan tentunya agar bacaan kedepan tak menjadi bias bahkan mungkin ahistorys.
Sampai disni, tak ada alasan untuk mengabaikan peran peran para leluhur kita. Mereka kini telah tiada tapi ketiadaan itu memanggil keberadaan kita. Siapkah kita menghidupkan kembali mereka dalam dunia yang lain? Atau membiarkan mereka terpisah dari spasi bangsa besar ini?
Terlulang pada kita semua
Barane, 5 Juli 2025
Komentar
Posting Komentar