BERSYUKURLAH || Bisik Sang Tokoh Imajiner (Merayakan Puisi Imajiner Adi Arwan Alimin “Mereka Kini Bertanya Padamu”)
Oleh: Hamzah Ismail
"Syukur penjaga nyala di dada."
Di ruang sunyi di hamparan sejarah dalam kesadaran, suara-suara itu datang. Mereka bukan sekadar nama yang terpatri di batu nisan atau lembar arsip, melainkan sosok yang menagih kesetiaan. Dalam puisi imajiner Adi Arwan Alimin, mereka hadir bergantian, menggugat, menyoal, dan mengukur nyali manusia Mandar kini.
Kali ini, bayangan mereka berbalik arah. Tidak lagi menodong dengan pertanyaan, melainkan memberi satu pesan yang sederhana namun menghunjam: bersyukurlah.
Imam Lapeo: Api Iman yang Tak Padam
Wajah teduh ulama kharismatik ini seakan keluar dari pusara Lapeo.
"Bersyukurlah kau memiliki api iman yang kutanam, agar tak buta di tengah badai dunia,"
ujarnya, dengan suara sejuk yang mengalir ke relung hati.
Syekh Abdul Mannan: Benang Ilmu dari Zaman Silam
Tangannya seperti masih memegang butiran tasbih hitam bercahaya.
"Bersyukurlah atas ilmu yang kusulam, agar pikiranmu tak hanyut arus zaman."
Ibu Agung Andi Depu: Nyali Perempuan Perkasa
Derap langkahnya terdengar bagai pasukan kuda di tanah basah.
"Bersyukurlah karena keberanian itu masih bisa kau warisi, agar kemerdekaan tak hanya jadi catatan di kertas."
Hammad Saleh Puanna Sudding : Darah Panglima
Dari kabut medan perang ia berujar,
"Bersyukurlah kau mewarisi darah pejuang yang tak gentar bedil, untuk melanjutkan mimpi negeri merdeka."
I Calo Ammana Wewang: Pelita Akal Sehat
Di antara laut dan pasir Babbabulo, ia berkata,
"Bersyukurlah karena pelita akal sehat masih kau genggam, agar tak sesat di jalan panjang perjuangan."
Maraqdia Tokape: Nyali Melawan Bayang-Bayang
Ia mengingatkan,
"Bersyukurlah karena nyali itu masih ada, meski lawanmu kini tak selalu berseragam."
Haji Zikir Sewai: Warisan Kejujuran
"Bersyukurlah atas kejujuran ini, agar tak mencuri di rumah sendiri,"
pesannya yang sederhana namun menampar kesadaran.
Husni Jamaluddin: Telinga untuk Harmoni
"Bersyukurlah karena telinga ini masih mau mendengar suara lirih di tengah bising perbedaan, dan kesediaan bergabung ke dalam kehendak Tuhan."
Kalman Bora: Kebanggaan Anak Mandar
"Bersyukurlah bukan hanya pada nasabmu, tapi pada panggilan untuk memberi."
Kiai Sahabuddin: Iman yang Bening
"Bersyukurlah atas iman yang kutanamkan, agar hatimu tetap jernih meski berjalan di tengah godaan."
Bunda Maemunah: Keberanian Menatap Bedil
"Bersyukurlah karena keberanian itu membuat kehormatanmu tak terjual murah."
Baharuddin Lopa: Kegigihan Makkeqdeang Atonganang
Dengan tatapan tajam ia berkata,
"Bersyukurlah atas kegigihan ini untuk melawan dusta dan korupsi."
Burai Nurdin Hamma: Buku Sebagai Cakrawala
"Bersyukurlah karena buku membuat jiwamu tumbuh."
Tammalele: Laut Sejarah dan Samudra Sastra
"Bersyukurlah karena kebudayaan ini adalah daya hidupmu."
Akhirnya, semua suara itu berpangkal pada satu hal:
Syukur bukan sekadar ucapan, tapi tindakan menjaga api, benang, nyali, dan iman. Selama tanah Mandar masih memanggil anak-anaknya pulang, pesan itu akan terus bergema, di telinga, di hati, dan di hamparan sejarah hidup mereka.
Bersyukurlah kau, karena kau memiliki tetua, yang dari mereka kau petik kebeningan perjuangan:
Mewariskan ke dadamu: jambia, daya juang menerjang zaman.
"Baca masa lalu leluhurmu yang lama terkubur dalam peragian zaman menjadi tafsir kekinian, sebab kejumudan adalah upaya menutup alir air hulu agar tak sampai ke muara, warisannya bukanlah emas, I Sorai dan Tambera, keris pusaka dan tombak trisula, padamu mereka hanya menitipkan keheningan dalam perjuangan dan kesejatian menjadi Mandar. Burai dan urai hidupmu dalam langkah-langkah taktis strategis, saat bunyi taqbilowe bertalu-talu mendorong gerak sandeq hidupmu, melaju jauh memotong ombak besar di samudera."
Maka bersyukurlah engkau menjadi Mandar kini, dan akan datang. Biarlah Mandar lalu adalah milik leluhurmu, dan kini tetap menjadi pondasi dasar keberangkatanmu.
Tinambung, 14/08/2025
Adi Arwan Alimin Pandaraq Allo Ramli Rusli
Komentar
Posting Komentar