PRAYOGA WIJAYA || Titip Mandar Ke Betawi

Prayoga Wijaya, anak muda kelahiran Betawi Jakarta 1996 ini berada di Mandar pekan lalu. Ia menemui saya dan mengutarakan niatnya untuk menulis tentang budaya Mandar. Awalnya saya pikir ini adalah program kementerian pendidikan sebagaimana yang beberapa penulis tahun-tahun sebelumnya. Ternyata inisiatif pribadi. "Sulbar adalah provinsi ke-17 yang ia kunjungi dan saya menulis tentang budaya mereka, Bang'. Jelasnya ketika saya telisik motif penulisannya. 

Kepadanya saya mengukir apresiasi yang dalam "Ini sangat dahsyat dan tak semua orang bisa lakukan. Sebab kegiatan begini tentu menyita waktu, tenaga dan fikiran. Bukan hanya itu, budget yang disediakan dalam setiap perjalanan itu tentu tak sedikit". Ucapku. Usut punya usut, selain memang karena masih single, lulusan antropologi di sebuah universitas di Jakarta ini memang intens melakukan penjejakan budaya-budaya nusantara. "Saya harus fokus dalam 4 tahun kedepan, karena setelah itu, saya akan nikah Bang, Hehe". Pungkasnya dengan kesan bercanda. 

Prayoga menemui saya atas rekomendasi beberapa orang mahasiswa pencinta alam (Mapala) di Majene. Dari sana juga nomor kontak saya diperoleh sehingga bisa bertemu dan berdiskusi dengannya. Selama beberapa hari di Mandar, ia menemukan banyak hal-hal terkait kebudayaan. "Tapi saya bingung harus mulai dari yang mana. Kemarin saya dapat Sayyang Pattu'du'. Says pikir ini kayaknya cocok, Bang'. Akunya. Saya lalu menyarankan padanya agar fokus pada tema sastranya, yakni Kalinda'da'. Sayyang Pattu'du' sudah banyak ditulis bahkan di filmkan oleh para peneliti. Belum lagi liputan televisi nasional sudah tak terhitung. 
Kalinda'da adalah karya sastra yang unik di Mandar. Ia hanya bisa dilongok dalam ritual Khatam Quran. Kalinda'da' adalah pakem pattu'du' selain sayyang dan rebana. Kenapa saya bilang unik, karena ketika syair ini diadopsi ke dalam genre sayang-sayang, kacaping  dan rawana towaine, kalinda'da' tak lagi punya nama disana. Ia hanya ditemukan dalam lirik yang ternyata syair kalinda'da'. 

Mendengar penjelasan saya tentang Kalinda'da', ia tertarik. Terlebih narasi kalinda'da' juga bermuara pada ritual totamma', juga terkorelasi dengan sayyang pattu'du', Rawana Tommuane. Untuk menjadi pemantiknya, saya lalu sodorkan tiga buku yang terkait dengan kalinda'da' dan satu buku tentang musik tradisional Mandar. 

Semoga dengan diskusi dan 3 buku itu, Prayoga mampu meramu dan menemukan narasi yang tepat untuk memberikan kabar pada semua orang tentang Manusia Mandar dan kebudayaannya. Sebelum pamit, ia sempat menjelaskan bahwa nantinya, tulisannya itu bukan bentuk reportase tapi jurnal. Ketika saya tanya kenapa memilih jurnal, bukankah model tulisan reportase juga lebih menarik. Alasannya, saya tak ingin terjerat dalam komersialisasi budaya orang. Siapa sih saya, Bang. Saya tak punya kapasitas untuk mengajari orang tentang budaya, orang Mandar sendiri yang mesti mengajari mereka, melalui jurnal yang saya tulis. Beda toh, Bang". 
Selamat Berkarya. 

Komentar