TAK CUKUP BACA QURAN, TAPI HARUS NGAJI

Catatan Muhammad Munir

Kemarin, di sebuah mushallah yang jauh dari hingar bingar perkotaan. Peringatan 12 Rabiul Awal ikut diperingati sebagai momentum kelahiran Nabiyullah Muhammad SAW. Setelah rangkaian dzikir, shalawat dan asyrakal badru dilantunkan. Doa dilangitkan seiring tampilnya seorang ustadz yang tampilannya khas nusantara dengan peci, sarung dan sorban. 

Bacaannya fasih, artikulasinya jelas saat berbicara dengan bahasa Mandar. Kefasihan itu terlihat saat mengutip sebuah ayat: Athi'ullah, Wa Athi'urrasul Wa ulil amri minkum. Taatlah kamu kepada Allah, Kepada Rasulnya, dan kepada pemimpin diantara kamu sekalian. Hal sedikit membuat saya tersedak ketika dengan mudah ia mengatakan bahwa tidak termasuk taat pada poin ketiga kalau pabali-bali kepada Pak Dusun, Pak Desa dan seterusnya. Ustadz ini bahkan menegasikan bahwa tidak turut pada Kepala kampung termasuk sebuah pengingkaran   terhadap ayat wa ulil amri minkum. 

Saya yang ikut hadir dengan pakaian kaos oblong tapi berpeci dan bersarung hanya sugiging ditempat menyaksikan seorang ustadz tapi kurang ngaji. Bisa-bisanya ia menyamakan makna ulil amri dengan umara. "Maafkan aku Tuhan, kenapa sampai hari ini masih banyak ustadz yang tergolong kondang tapi tak faham substansi sebuah ayat yang dijaikan tema ceramah". Batinku lirih. Jika semua ustadz yang kerap jadi pilihan warga saat ada acara penting begini, bagaimana masa depan umat kedepan?. 

Dalam kecamuk batin yang membuncah itu, saya coba istighfar untuk sekedar menenangkan diri atas sebuah ketidakmampuan yang dipertontonkan seorang yang kategori panutan umat. Bisa-bisanya ia tanpa beban menerjemahkan ulil amri setingkat kepala dusun, desa dan seterusnya. Saya kemudian tersadar, bahwa menuntut semua ustadz pernah ngaji kitab gundul dan talakki adalah sebuah ego yang dipaksakan. Saya tak mungkin juga menegurnya, sebab ini persoalan etika, bukan persoalan kulil haqqa walaw kana murran. 

Secara, ayat ini kadang jadi langganan ustadz tim sukses yang umumnya direkrut oleh calon petahana. Dan umumnya, ayat ini seringkali jadi bahasan meski jelas pelakunya tak faham bahasa. Umara dan Ulil Amri secara bahasa sangat jelas, pemerintah dan pemimpin. Disini dibituhkan pemahaman bahasa yang matang sebab akan sangat berbahaya jika rujukannya hanya modal terjemahan saja. 

Umara jelas pemimpin yang bisa dirujukkan ke kepala dusun sampai kepala negara. Tapi ulil amri meski terjemahannya adalah pemimpin, tapi ia dibatasi oleh kata Waw pada setiap awal kata dalam ayat itu. Waw yang digunakan pada ayat itulah yang membatasi makna pemimpin dalam kontes ulil amri. Sangat jelas waw itu mengisyaratkan pembatasan sekaligus memberi syarat atas pemimpin yang dimaksudkan. Wa ulil amri minkum ini bersyarat karena Waw yang digunakan adalah waw ruthubiyah, bukan waw maiyah maupun waw athfiyah (menurut salah satu annangguru kitta' di Campalagian). Syarat yang dimaksud pada ayat itu adalah pemimpin yang maksum, dan di Indonesia tak ada pemimpin yang bisa dinisbatkan. 

Kondisi ini mesti menjadi gerakan kolektif untuk terus mawas diri dengan upaya pembodohan yang justru dilakukan oleh tokoh agama bergelar ustadz. Tak boleh ada pembiaran terhadap oknum ustadz yang mengandalkan terjemahan, sebab sejatinya ustadz harus punya ilmu dan pemahaman yang mumpuni. 

Botto, 12 Rabiul Awal 1446 H.

Komentar