Di ujung selatan poros Sulawesi, ketika aspal belum sepenuhnya menaklukkan jalan tanah, berdirilah sebuah dusun bernama Lamasariang. Sebuah nama yang berhembus lembut dari lidah-lidah tua, seolah membawa aroma tanah basah dan desir angin laut. Konon, nama itu lahir karena kampung ini dulu dipenuhi pohon lamasariang, yang dalam bahasa Indonesia disebut lontar—pohon perkasa dengan batang menjulang dan daun bagai kipas raksasa, yang memberi naungan dan kehidupan.
Lamasariang bukan sekadar titik di peta, ia adalah denyut kehidupan yang tenang, tempat setiap hari berjalan pelan tanpa tergesa. Jalan nasional yang kini ramai dulu hanyalah lorong panjang berdebu, tempat anak-anak berlarian tanpa alas kaki, dan para ibu menjemur jagung di halaman rumah, ditata rapi di atas tikar pandan yang harum matahari.
Penduduk Lamasariang datang dari berbagai penjuru: Napo Saleko, Napo Buyung, Samasandu, Mosso, Cendra, Galung, Lambepanda’, Puttotor, Pandebulawang, hingga Saliwo’o. Mereka membawa cerita dan darah masing-masing, namun menyatu dalam satu harmoni. Perbedaan tak menjadi jarak; justru ia menjahit kebersamaan yang hangat, sehangat senja yang merunduk di balik pohon kelapa.
Di rumah-rumah, setiap hari terdengar ketukan bertalu-talu dari alat tenun. Suara itu berasal dari tangan-tangan terampil para ibu dan gadis Lamasariang yang menenun sarung sutra Mandar. Profesi ini bukan sekadar mata pencaharian, tetapi warisan budaya yang dijaga dengan cinta. Irama ketukan kayu dan benang yang meregang adalah musik kehidupan, yang mengalun lembut di antara dinding bambu dan semilir angin laut.
Kehidupan mereka sederhana, bertumpu pada huma dan ladang, menanam jagung, ubi kayu, dan bawang kampung di bukit-bukit berbatu. Tanah itu kebanyakan milik maradia, pa’bicara, atau papuangan, yang dengan bijak memelihara hak ulayat. Bila ada yang pindah rumah, acara itu selalu dilakukan setelah salat Jumat, agar banyak tangan ikut mengangkat rumah panggung bersama-sama—sebuah tradisi gotong royong yang sarat makna persaudaraan.
Di setiap rumah panggung, kehidupan berdenyut pelan. Dinding anyaman bambu, atap rumbia yang sesekali menetes ketika hujan lebat, menjadi saksi bisu tawa anak-anak dan percakapan orang tua tentang musim tanam bawang. Malam-malamnya sunyi, hanya lampu minyak yang berkelip, ditemani suara serangga yang bernyanyi di antara rumpun pisang.
Gadis-gadis, para ibu, dan remaja mandi pagi dan sore di lembang-lembang alami yang diberi nama indah: Pokki, Ca’bu, dan Ganda Gandang. Airnya jernih, memantulkan cahaya matahari dan bayangan pepohonan yang rimbun. Di sanalah mereka bercengkerama, tertawa lepas, dan berbagi cerita, menjadikan setiap percikan air sebagai tanda kehidupan yang riang.
Jika ada hajatan pernikahan atau pesta tamat mengaji, suasana kampung berubah menjadi semarak. Sarapo mulai didirikan, panci-panci besar bergelantungan, dan aroma kue tradisional seperti marridi pupu dan maccucur menyebar ke udara. Setengah bulan sebelum acara, rumah keluarga yang akan berpesta sudah ramai oleh sanak saudara, semua datang untuk membantu, menjadikan kebersamaan itu sebagai pesta sesungguhnya.
Kampung ini pernah dipimpin oleh tokoh-tokoh yang namanya tak lekang oleh waktu. Ada Pak Suyuti Tamma, yang disebut orang sebagai Kapala Suyuti, sosok yang tegas namun bersahaja. Setelahnya, Abdul Wahab alias Puanna i Icicci, yang akrab disapa Kapala Matoa, memimpin dengan kearifan adat. Hingga akhirnya, menjelang perubahan zaman, Irsyad Wahab menutup babak terakhir sebagai kepala desa sebelum Lamasariang beralih menjadi kelurahan Balanipa.
Meski pemimpin silih berganti, satu hal tak berubah: kerukunan. Orang Lamasariang hidup seperti air yang mengalir—bening dan tenang. Gotong royong adalah nafas kehidupan; ladang digarap bersama, hajatan dirayakan bersama, duka pun dipikul bersama. Tidak ada yang terlalu kaya, tidak ada pula yang terlampau miskin. Semua cukup, sebagaimana kampung mengajarkan arti kecukupan.
Namun bagiku, Lamasariang bukan sekadar kampung; ia adalah halaman pertama dari sebuah buku kehidupan. Di sanalah aku belajar tentang arti persaudaraan, kesederhanaan, dan harapan. Di balik setiap pohon kelapa, di setiap jalur lorong tanah, ada kenangan yang terpatri. Dan setiap kali aku menoleh ke belakang, aku mendengar suara masa lalu yang berbisik: “Ingatlah kami, sebab kami adalah bagian dari dirimu.”
Catatan harian, awal perjalanan hidupku
Safardy Bora
Komentar
Posting Komentar