Bendi mulai dikenal di Mandar sekitar tahun 1910-an, seiring pembangunan jalan tembus Polewali–Majene oleh pemerintah kolonial Belanda. Jalan yang membelah tanah Mandar itu menghadirkan cara baru berpindah: bukan lagi hanya berjalan kaki atau menunggang kuda, melainkan duduk nyaman di atas gerobak kayu yang ditarik dua roda, dilengkapi hiasan sederhana. Awalnya, bendi adalah kebanggaan kaum bangsawan. Kendaraan ini berderap membawa pejabat Belanda dan kalangan ningrat Mandar, menjadi simbol kemewahan pada zamannya.
Namun begitu, jalan poros Lamasariang baru mulai pada awal 1950-an, geliat kehidupan kampung pun berubah. Jalan setapak yang semula hanya dilalui pejalan kaki dan hewan ternak berganti rupa menjadi jalur berlapis batu padas yang kasar.
Lalu berkembang, kemudian jalan itu menembus Karama hingga Tinambung, membawa harapan baru: perdagangan lancar, orang-orang saling terhubung, dan kabar tak lagi harus menunggu lewat laut.
Di sepanjang jalur ini, bendi menjadi raja jalanan. Mula-mula, ia hanya milik kaum berada—para pemilik tanah luas, pedagang besar, juga orang-orang Belanda dan Jepang yang singgah. Kudanya gagah, sebagian didatangkan dari Sumbawa atau dibeli dari pedagang Bugis di pelabuhan. Kuda-kuda ini bukan sekadar hewan penarik, tetapi kebanggaan, diberi nama, dipelihara dengan penuh cinta. Anak-anak kampung hafal nama kuda-kuda itu seolah mereka adalah pahlawan yang berlari di atas nadi kehidupan.
Seiring pergantian masa, bendi tetap bertahan. Setelah Belanda dan Jepang pergi, ia masih menjadi kebanggaan, meski perlahan jarak dengan rakyat jelata kian menyempit. Tahun 1960-an, ketika pasukan 710 pernah singgah di tanah Mandar, bendi mulai akrab di mata orang kebanyakan. Tak lagi hanya untuk bangsawan, tapi untuk siapa saja yang mampu membayar ongkosnya.
Puncak kejayaan bendi hadir pada awal 1970-an. Kala itu, nama-nama orang tua Pua Niar hinnga lanjut Pua Niar dan Papa Na’ni menjadi legenda. Mereka bukan sekadar pandai besi, tetapi pengrajin seni. Dari tangan mereka lahir bendi-bendi lokal yang kokoh, indah, dan fungsional. Ukiran sederhana menghiasi kayu, rangka besi berpadu dengan roda yang tahan banting. Pua Niar dan Papa Na’ni membuat bendi tak hanya jadi alat angkutan, tetapi juga warisan keterampilan Mandar yang membanggakan.
Tak sedikit pemilik bendi kala itu. Ada Ka’ Hamar, Ka’ Mana’, Kama`na I Tahir, Pua Turi, Ka’ Ruba, Ka’ Tanda, Kama Suwedah, Puayi Yasak. Lalu menyusul Firdaus alias po`do yang dikenal sebagai Kaman Marayang, juga Kama Haming, Malik Papa Wawan. Nama-nama ini menghiasi jalan poros setiap hari, membawa penumpang dan dagangan, menghubungkan Lamasariang dengan Tinambung, Karama, hingga pasar Pambusuang.
Hari pasar adalah panggung bendi. Setiap Rabu dan Sabtu, jalanan ramai oleh derap kaki kuda menuju Tinambung. Senin dan Jumat, giliran pasar Pambusuang jadi tujuan. Jalanan yang dilapisi aspal ranggina bercampur batu padas besar-besar, seolah menahan bunyi tapal kuda yang berpacu dengan waktu. Di kiri-kanan jalan, rimbun pohon kelapa dan rumpun bambu bergoyang diterpa angin laut yang menyusup dari selatan. Udara Karama sejuk, harum tanah basah bercampur aroma kuda dan kayu basah yang menguar dari roda bendi.
Memiliki bendi kala itu adalah tanda keberhasilan. Setiap tarikan kuda bukan hanya membawa penumpang, tetapi juga penghidupan. Namun, bagi petani seperti orang tuaku, dunia ini masih jauh. Kami tetap bergantung pada jagung dan singkong. Setelah panen, batangnya kami jual di pinggir jalan di bawah dua pohon asam kembar yang tegak di depan rumah Amma Pisa. Di sanalah deretan penjual berjajar, berharap ada pembeli lewat. Kadang, aku menunggu berjam-jam sambil melihat bendi-bendi melintas, iri pada tawa penumpangnya. Jika laku seratus atau seratus lima puluh rupiah untuk satu ikat, aku sudah merasa seperti meraih rezeki besar.
Naik bendi adalah kemewahan bagiku. Kursinya melingkar seperti huruf U terbalik, pintu di belakang, satu penumpang di dekat kusir, empat di kursi belakang saling berhadapan. Angin sepoi menerpa wajah, suara lonceng kuda berdenting, dan derap langkah yang berpacu dengan detak jantung. Di atas bendi, tawa pecah, cerita mengalir, bahkan cinta kadang bersemi diam-diam. Lamasariang mengikat banyak kenangan di roda bendi yang menggelinding pelan di atas jalan berbatu.
Namun, masa berubah. Akhir 1990-an, sebuah babak baru datang bersama suara mesin. Dialah Nurdin—Papa Burhan—orang pertama yang membawa ojek motor ke Lamasariang. Pengalamannya merantau lama di Balikpapan ia bawa pulang sebagai ide besar. Awalnya, ojek adalah kejutan. Banyak yang ragu, banyak pula yang tergoda. Dalam sekejap, ojek menjadi primadona. Lebih cepat, lebih praktis, dan tak perlu memberi makan seperti bendi.
Setelah Nurdin, bermunculan nama-nama lain: Ramali, Mas Jo alias Papa Nisma, adiknya Perlaianan, dan banyak lagi. Jalan poros yang dulu hanya mendengar derap kaki kuda, kini bergema oleh raungan mesin. Dan dari sinilah konflik dimulai. Tukang ojek dan kusir bendi sering bersinggungan. Saling tatap dengan mata panas, saling ancam, bahkan nyaris saling sikat. Ada sketsa batas wilayah yang mereka sepakati: mana yang boleh dilewati bendi, mana untuk ojek. Tapi kesepakatan itu sering retak, sebab penumpang lebih memilih motor yang lebih cepat sampai tujuan.
IInilah awal kepunahan bendi. Satu per satu kusir menyerah. Roda kayu yang dulu bergulir membawa cerita kini diam berdebu di bawah kolong rumah. Denting tapal kuda tergantikan suara knalpot yang meraung. Dan Lamasariang perlahan kehilangan simfoni derap yang dulu menjadi nyanyian paginya.
Aku, masih mengingatnya: jalan poros yang sejuk, pepohonan yang berbaris seperti penonton setia, aroma tanah yang menempel di napas, dan bendi yang pernah menjadi panggung cinta, kerja, dan cerita. Kini semua tinggal kenangan yang berderap pelan di dalam ingatan. Seperti langkah kuda yang menjauh, hilang di tikungan sejarah.
Napasmu kini berdenyut disini
Bergelembung rindu di dada
oh.. Lamasariang....*
Komentar
Posting Komentar