Jejak Emas yang Hilang dari Pandebulawang

Safardy Bora

Di antara bayang-bayang sejarah Mandar yang megah dan samar, nama Ha'dani atau Dani—putra dari Puangna Massi bin Daengna Nakka—masih bergema lembut di sela-sela desir angin Saleko. Ia dilahirkan sekitar awal 1900-an, pada masa di mana langit masih bersih dari deru pesawat kolonial, namun bumi telah dijejak derap pasukan asing. Dani dikenal bukan hanya sebagai seorang pua patiamah, pewaris darah terhormat, tetapi juga sebagai petani kaya yang menyatu dengan tanah dan emas.

Menurut penuturan cucunya, Safardy Bora, melalui cerita ibunya yang masih membekas hangat di ingatannya, sang Dani bukan petani biasa. Ia menanam emas di dalam hidupnya. Dari emas Pulu Sodzo—emas murni berkilau seumpama cahaya subuh di antara sela anyaman tikar bambu—hingga emas Passambo, berbentuk bulatan pipih yang dulu disimpan para perempuan bangsawan dalam selendang kecil di balik baju lamba-lamba mereka. Bahkan anak-anak perempuan pun kala itu memiliki kepingan emas kecil—indopong dan bali-bali'—sebagai tanda kehormatan dan warisan budaya.

Namun kekayaan itu bukan hanya perhiasan. Ia adalah simbol martabat, hasil keringat, dan kecintaan yang diwariskan turun-temurun. Sayang, sejarah bukan hanya kumpulan kejayaan. Ia juga luka yang menganga.

Ketika bayangan Belanda menebal di Mandar, Saleko tak luput dari incaran. Rumah Dani, yang berdiri di kawasan Saleko—kampung para pandai emas yang harum namanya sejak abad-abad silam—dibakar. Tidak hanya atap dan dindingnya yang hangus, tetapi juga martabat dan harta yang tersimpan di dalamnya. Sunusi, sang anak menantu, ditangkap pasukan Belanda rumah itu. Ia saksi mata dari sebuah penghapusan jejak.

Gelang lenyap, cincin raib, dan perhiasan anak-anak perempuan yang dulu digenggam seperti doa malam kini tinggal kenangan. Begitu pula dengan emas pulu sodzo dan passambo, seperti hilang tertelan waktu. Sejak kejadian itu, Pandebulawang tak lagi terdengar sebagai pusat penempaan emas. Bara di tungku padam. Palu dan landasan diam seribu bahasa. Generasi berikutnya tumbuh tanpa gemerincing logam mulia.

Namun sejarah tidak pernah benar-benar padam. Ia hidup dalam ingatan, dalam cerita cucu yang menulis, dan dalam bisik-bisik tanah tua yang masih menyimpan serpih jejak emas Pandebulawang.

Komentar