Mengenang Jejak Kepahlawanan Mandar: Sebuah Refleksi atas Buku “Ibu Agung Hj. Andi Depu, Pahlawan Nasional dari Mandar


Buku Ibu Agung Hj. Andi Depu Pahlawan dari Mandar karya Muhammad Munir.

Judul: Ibu Agung Hj. Andi Depu Pahlawan Nasional dari Mandar
Penulis: Muhammad Munir
Penerbit: Framepublishing Yogjakarta
Tahun Terbit: Cetakan ke-3 (Edisi Revisi) :Oktober 2020
Jumlah Halaman: Sekira 293
halaman
Genre: Buku Sejarah Lokal
Perensi/ resensator : Adhi Riadi

Buku Ibu Agung Hj. Andi Depu, Pahlawan Nasional dari Mandar karya Munir, diterbitkan oleh Framepublishing Yogyakarta, adalah karya sejarah yang menggugah kesadaran kita akan besarnya pengorbanan para pejuang dari tanah Mandar. Meski saya baru menyimak buku ini hingga halaman ke-86 dari total 293 halaman, saya sudah merasa dibawa dalam sebuah perjalanan panjang yang penuh semangat perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.

Pada bagian awal, Munir berhasil menggambarkan bagaimana perlawanan rakyat Mandar terhadap penjajah bukanlah peristiwa singkat, melainkan perjuangan panjang yang telah berlangsung. Penulis membuka kisah ini dengan mengutip catatan lontaraq tentang Perang Galesong yang terjadi pada 19 Agustus 1667 — sebuah titik penting dalam sejarah keterlibatan orang-orang Mandar melawan VOC yang bersekutu dengan Kerajaan Bone.

Tidak hanya menyajikan sejarah sebagai deretan fakta, Munir dengan apik mengangkat kisah-kisah heroik para tokoh pejuang yang jarang disebut dalam buku sejarah arus utama. Nama-nama seperti Daeng Mallari (Todiposso), I Maga Daeng Rioso, I Baso Boroa Tokape, hingga Hj. Maemunah Djud Pance dihidupkan kembali lewat narasi yang kuat dan bernas. Mereka adalah tokoh-tokoh yang pantas mendapat tempat dalam ingatan kolektif bangsa (Hal 3-7)

Hal menarik yang saya tangkap dari buku ini adalah bahwa perjuangan di Mandar tidak hanya dimonopoli oleh satu tokoh, meski nama Hj. Andi Depu memang menjadi sentral. Buku ini justru mengajak kita bahwa di balik tokoh sentral tersebut, berdiri banyak pahlawan lain yang juga rela mengorbankan hidup dan kenyamanan mereka demi semangat kemerdekaan. Munir seolah mengajak kita untuk tidak menempatkan sejarah pada satu nama saja, melainkan melihatnya sebagai rangkaian perjuangan kolektif.

Kisah tentang Tapanguju bergelar Punggawa Malolo di Mamuju sebagai pejuang di Benteng Kassa Sinyonyoi, Kecamatan Kalukku dan Daenna Maccirinnai bersama rekan-rekannya seperti La’lang Parrimuku di Benteng Kajumangibang, Kabupaten Mamuju Tengah menjadi pengingat bahwa sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan warisan yang harus dijaga dari kepunahan oleh waktu. Buku ini, dalam pandangan saya, bukan hanya layak dibaca, tetapi juga penting untuk menjadi bahan refleksi kita di tengah arus zaman yang kian cepat melupakan akar.

Sebagai tambahan, saya menyarankan agar buku ini lebih sering dibincangkan di berbagai forum, baik formal seperti seminar sejarah, diskusi akademik, maupun forum informal seperti komunitas literasi, ruang-ruang budaya, atau media sosial. Dengan demikian, ruang kritik yang konstruktif bisa dibuka lebih luas, memperkaya perspektif pembaca, sekaligus memperkuat posisi sejarah lokal sebagai bagian penting dari narasi kebangsaan.

Bagi saya pribadi, membaca buku ini bukan hanya menambah pengetahuan sejarah, tetapi juga membangkitkan rasa bangga sebagai bagian dari bangsa yang besar karena keberanian dan keteguhan para leluhurnya. Buku ini juga mengingatkan kita bahwa pahlawan bukan hanya mereka yang telah diberi gelar resmi, melainkan semua yang berjuang tanpa pamrih demi tanah airnya.

Komentar