TANGGAPAN SAFARDY BORA ATAS TULISAN DARMANSYAH


TANGGAPAN SAFARDY BORA || Atas Tulisan Darmansyah Berjudul Kerajaan Sendana Dalam Terori Kenegaraan Ibnu Khaldun

http://pusakakuofficial.blogspot.com/2025/07/kerajaan-sendanadalam-teori-kenegaraan.html

Safardi Bora: 
Tulisan gurunda ini menghadirkan pendekatan yang cerdas—mengawinkan sejarah lokal dengan teori besar Ibnu Khaldun. Suatu keberanian intelektual yang patut diapresiasi, karena menyandingkan Mandar, khususnya Kerajaan Sendana, ke dalam panggung pemikiran dunia Islam klasik.

Namun, dalam lanskap akademik, keterkaitan ini memerlukan tahapan metodologis yang lebih tajam: dari rekonstruksi naskah, jejak lisan, hingga pemaknaan ashabiyah yang kontekstual dengan kondisi sosial Mandar kala itu. Jika tidak, kita akan mudah tergelincir dalam euforia kesepadanan konsep, namun kehilangan akar-akar empiris dari kerajaan itu sendiri.

Meski demikian, tulisan ini tetap menyala sebagai upaya awal yang menjanjikan. Semoga api ilmunya tak sekadar membakar wacana, tetapi juga menghangatkan generasi Mandar hari ini agar tak hanya menemukan artefaknya—melainkan juga roh peradabannya.

Safardi Bora: 

Sy mencoba… GELISAH… dan ‘BAPER’… pada dua kata di penghujung tulisanTa—ROH dan PERADABAN."

Sepakat kita kanda bahwa pertanyaan ini tidak sederhana. Ia menggugah sesuatu yang lebih dalam dari sekadar retorika—yakni hipotesis laten tentang mengapa tokoh-tokoh leluhur seolah mendekati gambaran manusia paripurna, padahal hidup di zaman yang dari sisi teknologi sangat jauh dari era kita.

Secara metodologis, pendekatan yang dapat digunakan adalah fenomenologi kultural, yakni membaca makna yang tersembunyi di balik pengalaman bersama yang diwariskan secara turun-temurun. Dalam pendekatan ini, roh bukan sekadar entitas spiritual, melainkan inti nilai yang menghidupi tindakan, etika, dan relasi antar manusia. Sementara peradaban bukan hanya kumpulan artefak atau kemajuan infrastruktur, tapi sistem hidup yang memiliki arah, kesadaran, dan rasa.

Kemajuan ilmu dan teknologi hari ini bersifat prosedural dan instrumentalis. Namun, apa yang dimiliki para leluhur bukan sekadar pengetahuan, tapi ilmu yang laduniyah—datang dari keheningan batin, intuisi kolektif, dan dialektika batiniah dengan alam. Mereka tidak menjadikan IPTEK sebagai tujuan, melainkan alat untuk menjaga harmoni.

Maka, kerinduan kita hari ini pada masa silam bukan hanya kerinduan pada kesederhanaan hidup, tetapi pada jiwa yang utuh—yang tidak terpecah oleh kecepatan, tetapi tertambat pada makna. Barangkali, di situlah letak "roh peradaban" yang hilang hari ini.

Sebagaimana ungkapan entah dari siapa, yang pelan-pelan menggema kembali:
"Enak pada zaman AKU too…"

Mungkin bukan zamannya yang enak. Tapi manusia di dalamnya lebih mengenal dirinya, lebih mengenal Tuhannya, dan lebih mengenal semesta.

Tawe’ kandaku, i ami yang fakir  ini, insyaallah kita sepakat "jangan khawatir dianggap menggurui. Kadang yang gelisah itulah penjaga sunyi dari ilmu yang hendak padam".

Malakkai kanda, minta maaf 🙏🙏🙏

Komentar