By Muhammad Munir
Tulisan ini mengambil momentum 17 Agustus 2025 saat RI memasuki usia ke-80 tahun. Alasannya jelas, bahwa Sandeq Silumba ini hadir sebagai upaya berbagi rasa merdeka kepada segenap Passandeq yang ikut di even Sandeq Silumba 2025. Para Passandeq adalah sekelompok manusia yang lahir dari rahim maritim Indonesia. Sandeq dikenal sebagai perahu tercepat di dunia dan Mandar sendiri adalah etnis yang padanya tersematkan gelar pelaut ulung.
Mandar sebagai sebuah bangsa dan Sandeq sebagai ikonnya jelas menjadi bagian dari progres pemerintah untuk membangun Indonesia sebagai negara maritim. Jika itu memungkinkan maka Mandar adalah salah satu suku pemantik dari sebuah tautan itu. Mungkinkah Indonesia bisa menjadi negara maritim terbesar di Asia?. Mungkinkah Sulawesi Barat tampil mempertahankan ke-ulung-an di dunia maritim negeri ini ?
Pertanyaan seperti ini barangkali mengejutkan sejumlah pihak, tak peduli apakah ia seorang akademisi atau awam. Bahkan bisa jadi yang ditanya tidak memberikan jawaban sama sekali, tetapi justru balik bertanya kepada si penanya pertama: “Apakah mungkin Indonesia menjadi negara maritim?
Kenyataannya rakyat Indonesia, apakah itu dalam diskusi-diskusi atau perbincangan informal dan forum lain yang ada, sangat jarang mengupas dan menelaah tentang tema-tema kemaritiman Indonesia atau melihat Indonesia sebagai negara maritim. Begitu juga halnya refleksi pemberitaan yang ada atau media-media yang terdapat di Indonesia nyaris tidak pernah mengupas tentang maritim. Jikalau ada pemberitaan yang berkenaan dengan laut, biasanya hal itu terkait hanya dengan kecelakaan, kriminalitas atau pencemaran lingkungan.
Hal ini seolah-olah sebagai sesuatu yang wajar saja terjadi, karena kebanyakan rakyat Indonesia yang rata-rata masih berada di bawah atau diambang kemiskinan terus menerus disibukkan dengan perjungan untuk bertahan hidup (struggle for survival), tidak sempat memikirkan hal-hal yang tidak mendesak.
Kemiskinan yang mendera, telah menguras habis energi dan pikirannya, dan meskipun demikian mereka tak mampu juga lepas dari belitan itu. Sementara anggota masyarakat lain yang lebih beruntung, para pekerja formal dan pegawai negeri, disibukkan dengan rutinitas kerja yang justru memfosilkan pikirannya dari gagasan-gagasan besar yang sebenarnya berada dalam jangkauannya. Di samping itu, tak dapat diingkari bahwa Pemerintah sendiri, sejak Orde Baru sampai dengan Era Reformasi ini, tampaknya belum memiliki kepedulian serius untuk mengeluarkan berbagai kebijakan yang memungkinkan Indonesia bergerak menuju negara maritim. Karena itu lengkaplah sudah bahwa wacana apalagi cita-cita rakyat Indonesia sebagai negara maritim.
Kondisi ini sesungguhnya juga melanda Sulawesi Barat selama ini. Sejumput harapan muncul ketika SDK-JSM mencoba merawat komitmen bermaritim itu lewat perhelatan Sandeq Silumba 2025. Tentu ini harus diapresiasi meski tak bisa dipungkiri bahwa dewasa ini banyak muncul perdebatan di antara pengamat dan pakar maritim mengenai istilah mana yang tepat antara kelautan atau maritim. Hal ini karena ketidak-jelasan tentang apa yang dimaksudkan dengan kedua istilah itu dalam merepresentasikan kandungan konsepnya.
Ada sejumlah kemungkinan makna yang tampaknya berpengaruh terhadap realitas istilah yang merepresentasikan Indonesia ini. Pertama, mungkin karena melihat Nusantara dianggap sebagai archipelago dalam pengertian Inggrisnya, sehingga makna kelautan lebih tepat untuk menggambarkan kondisi fisik negara ini.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian laut adalah kumpulan air asin yang menggenangi dan membagi daratan atas benua atau pulau, sedangkan kelautan hanya dijelaskan sebagai “perihal yang berhubungan dengan laut.” Berhubungan di sini dapat saja diartikan sebagai dekat, menyentuh atau bersinggungan. Uraian pengertian ini menjelaskan bahwa istilah kelautan lebih cenderung memberikan perspektif lebih sebagai bentuk fisik, sebagai physical entity atau physical property.
Meskipun demikian, kelautan dalam arti luas dapat saja diartikan sebagai segala sesuatu yang mempunyai kepentingan dengan laut sebagai hamparan air asin sangat luas, yang menutupi permukaan bumi.
Sedangkan istilah maritim, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai berkenaan dengan laut, berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut. Begitu juga istilah maritime menurut Wikipedia, secara primer adalah sifat yang menggambarkan obyek atau aktivitas berkenaan dengan laut. Istilah maritim tak hanya memiliki pengertian sempit, yaitu hanya berhubungan dengan angkatan laut atau angkatan — » laut dalam hubungan dengan kekuatan darat dan udara, atau bahkan dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu angkatan laut dan semua kegiatan yang berhubungan dengan penggunaan komersial nonmiliter terhadap laut.
Dilihat dari sisi tata bahasa, kelautan adalah kata benda, maritim adalah kata sifat. Dengan demikian, jika Indonesia adalah negara yang harus memanfaatkan laut, maka istilah maritim lebih tepat. Indonesia harus menjadi negara maritim, bukan hanya negara kelautan. Argumentasinya, negara maritim adalah negara yang mempunyai sifat memanfaatkan laut untuk kejayaan negaranya, sedangkan negara kelautan lebih menunjukkan kondisi fisiknya, yaitu negara yang berhubungan dekat dengan atau terdiri dari laut. Istilah maritim jauh lebih tepat digunakan dalam konteks ini, karena memang menunjukkan aktivitas dan pemberdayaan manusia yang berkenaan dengan laut.
Sampai disini, penulis hanya mencoba menyentil kesadaran bermaritim kita agar tidak hanya sebatas even tapi juga sebagai alas pijakan bsgaimana pemerintah bisa dan mampu merekayasa kesejahteraan para nelayan dan pelaut Mandar (baca: Sulawesi Barat). Tulisan selanjutnya akan fokus tentang Sandeq, bentuk, hakikat dan srjarah Sandeq bagi manusia Mandar sampai kepada Sadeq Silumba 2025.
BERSAMBUNG
Komentar
Posting Komentar