MEMBUANG SEBIJI GARAM DI TENGAH SAMUDRA LUAS

Catatan : Dr. Mukhtar, S.Th.I., M.Th.I

           Lautan nan luas dan dalam seringkali menjadi simbol dalam mengilustrasikan kedalaman ilmu seseorang. Allahpun menggambarkan ilmu-Nya dalam QS:Al-Kahfi ayat 109 bak lautan tak bertepi.   Namun ada kisah menarik dari anak manusia yang memiliki ketergantungan jiwanya dengan sang pencipta, berani menggertak dan menundukkan laut di tengah berkecamuknya samudra luas membuat para penumpang itu mendekati anak manusia  seraya memohon kepadanya  " engkau adalah anak manusia yang memiliki kelebihan sebagai kekasih Allah " berdoalah agar kami semua selamat dari situasi ini " Maka anak manusia itu dengan penuh keberanian memerintahkan laut untuk berhenti mengamuk seraya berkata "berhentilah wahai laut kecil di atasmu sekarang ada lautan ilmu"  seketika itu dengan izin Allah lautanpun kembali menjadi tenang. Anak manusia itu adalah Muhyiddin Ibnu ' Arabi sang pemilik Kitab *futuhat Al-Makiyyah* yang sangat brilian itu. 
  
      Ibnu Arabi yang telah sanggup menantang samudra seakan memberi pesan bahwa betapapun luas dan dalamnya lautan, hati dan pikiran manusia jauh lebih luas dan dalam. Ibnu Qayyum mengatakan diantara yang dapat melapangkan dada adalah ilmu, sungguh dia dapat melapangkan dada bahkan lebih luas dari dunia. Hati adalah miniaturnya alam makrokosmos yang dalam dan luasnya tak terbatas. Dalam hadis qudsi Allah berfrman: " Semua petala langit dan bumi menjadi sempit untuk merangkul KU tetapi Aku bisa dirangkul dari seorang mukmin yang hatinya lapang". artinya hati manusia yang kecil bisa menjadi luas karena Tuhan berada di dalamnya. "Dalamnya laut bisa diukur dalamnya hati siapa yang tau" demikian kata pepatah.
       Dalil-dalil tentang kekuatan hati manusia tersebut menjadi penanda yang cukup jelas bahwa hati bisa menjadi luas bahkan bumi sekalipun manakala seseorang telah berhasil menempatkan Tuhan di dalam hatinya dan pikirannya yang membuat Ibnu Arabi berani menundukkan amarah lautan.

       Terlepas dari luasnya hati dibanding lautan, catatan sederhana ini bukanlah seperti lapangnya hati daripada luasnya samudra, melainkan seperti sebiji garam yang dihempaskan di tengah samudra dan luas yang mustahil sebiji garam mampu menggarami lautan. Lagi-lagi penulis wajib untuk membuat metafora bahwa catatan tak beraturan ini seperti seorang murid -salik yang tengah mencari seorang Mursyid. Bagai seorang yang haus dalam mencari sumur.
      Ungkapan dan pikiran manusia apalagi seorang murid yang tertuang  dalam bentuk  tulisan memang  tidak sesakral dengan bahasa dan pikiran seorang mursyid. Bahasa seorang mursyid adalah bahasa yang sudah melangit sedangkan bahasa seorang murid adalah bahasa yang di ukir di bumi yang penuh dengan kepalsuan dan tipu daya.  Oleh karena itu ketika seorang murid berbicara di depan gurunya sejatinya menyadari bahwa dirinya seperti *"membuang sebiji garam di tengah samudra luas"*

      Namun demikian murid boleh berprinsip bahwa  Jika seorang membuat catatan di depan guru jadihkanlah itu sebagai sesuatu yang dapat mengantarkanya  kepuasan batin tersendiri. Sebab pada prinsipnya tulis menulis adalah sebuah titian yang dapat mengantarkan pada keabadian.
      Kepuasan batin seorang penulis itu pertanda (mudah-mudahan saya tidak salah tafsir) bahwa Tuhan telah memberi restu dan Ilham kepadanya sebab pada hakikatnya yang menggerakkan pikiran manusia adalah Tuhan itu sendiri.

        Mungkin tidak terlalu salah kalau dikatakan bahwa menulis yang baik-baik adalah bagian dari usaha  merefleksikan" pemikiran Tuhan". Atau dengan bahasa lain bahwa menulis adalah merefsentasikan ide dan gagasan Tuhan lewat manusia yang cenderung  selalu melakukan " pertapaan" di alam pemikiran dan renungan.

     Sedari Tuhan masih mewaraskan pikiran kita, lidah kita masih pasih melafazkan dan menyusun  kata walau tidak sistematik jalan menuju keabadian terbentang luas di depan kita yang menjadi investasi yang tidak sekedar bertujuan meraih ambisi  kehormatan akademik seperti diburuh oleh segelintir orang walau dengan jalan yang instan bahkan manipulatif seperti ambisi sebagian para politis, sangat berambisi di depan namanya ada gelar Doktor dengan menawarkan disertasi yang dipertanyakan keabsahannya.

     Mencatat sebait kata yang baik-baik dan bermamfaat adalah bagian dari perintah agama" sampaikan walau satu ayat" demikian Rasul mengisyaratkan bahwa menjadilah diri yang abadi yang bisa dikenang dalam sejarah.

    Banyak para pendahulu yang telah berhasil menorehkan sejarah lewat gagasan dalam lembaran-lembaran kertas.   Banyak orang mengenangnya walau penulisnya sudah tiada menuju alam eskatologis.

      Tubuh boleh hancur dimakan cacing tanah, tetapi ruh dan pemikiran tidak boleh lenyap. Keabadian ruh akan kembali kepada yang asal yang menancapkan ruh tersebut yakni YANG MAHA TUNGGAL, sementara pemikiran akan abadi dalam kenangan manusia. Pikiran Buya Hamka akan selalu abadi karena tafsir Al azharnya, pemikiran Hasbi Assiddiqi tidak akan pernah lenyap karena Tafsir Annnurnya.  Dan masih banyak lagi  ulama-ulama yang mengabadikan namanya lewat karya yang diwariskannya.

Wallahu 'Alamu bishshawab

Pinrang 7 Desember 2024

Komentar