Oleh : Bram Pallatano
Di masa lalu, silsilah adalah warisan yang dijaga dengan penuh kehati-hatian dan kesakralan. Setiap nama, setiap cabang keluarga, dan setiap peristiwa dalam garis keturunan disusun dengan teliti melalui naskah Lontara, stamboom, dan kajian-kajian lisan maupun tertulis yang diuji kebenarannya secara turun-temurun. Kebenaran bukan sekadar data—tetapi realitas yang dipertanggungjawabkan, diperiksa, dan dihormati.
Namun hari ini, kita hidup di era di mana informasi tak lagi melewati proses penapisan yang ketat. Silsilah bisa dibuat dan disebarluaskan dalam hitungan menit. Dengan teknologi digital dan media sosial, siapa pun kini bisa menjadi "penulis sejarah", meski tanpa fondasi riset atau kedalaman narasi leluhur. Silsilah kini mudah ditemukan—tetapi mudah pula dipelintir.
Teknologi memang memberi ruang keterbukaan, tapi juga mengaburkan batas antara narasi nyata dan narasi imajinatif. Banyak silsilah yang viral di media sosial bukan karena akurasi, tapi karena daya tarik visual, nama besar, atau afiliasi emosional yang dibangun secara canggih. Realitas tidak lagi menjadi syarat mutlak—yang penting adalah seberapa cepat ia tersebar dan diterima.
Keprihatinan muncul, terutama bagi para penjaga warisan budaya dan peneliti yang selama ini bergelut dalam keheningan dan ketelitian. Bagi mereka, silsilah bukan sekadar pohon nama, tetapi peta identitas yang menyatukan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Ketika keaslian dipertaruhkan oleh kecepatan, maka yang terancam bukan hanya data, tetapi juga nilai, martabat, dan kesinambungan sejarah.
Maka di tengah gegap gempita era digital, perlu suara yang bersandar pada integritas. Perlu ruang yang merawat silsilah dengan cara lama—yang sabar, hati-hati, dan jujur. Teknologi semestinya menjadi jembatan, bukan pemutus. Ia bisa menjadi alat bantu yang luar biasa, asal tetap dipandu oleh nilai-nilai kebenaran, bukan popularitas.
Kini tantangannya bukan sekadar menemukan silsilah, tapi membedakan mana yang nyata dan mana yang hanya rekaan. Dan bagi kita yang masih percaya bahwa sejarah adalah cahaya, bukan sekadar cerita, inilah saatnya untuk terus menjaga nyala kecil itu, agar tak padam di tengah badai informasi yang menggulung realitas.
Komentar
Posting Komentar