Bagian 1: MODERASI BERAGAMA || Memoderasikan Konsep Langi'na Buraliung dengan Buraliunna Langi'.

Bagian 1: 
MODERASI BERAGAMA || Memoderasikan Konsep Langi'na Buraliung dengan Buraliunna Langi'. 

Catatan Muhammad Munir
Menjadi bagian dalam proses gerakan moderasi beragama melalui kegiatan 'Diseminasi Gerakan Moderasi Beragama" pada 11 Juli 2024 di Hotel Ratih adalah ruang intim bagi penggerak literasi dalam membaca pendekatan dan praktik agama yang menekankan keseimbangan, toleransi, dan penghindaran ekstremisme. Pendekatan ini mendorong pengikut agama untuk mengamalkan keyakinan mereka dengan cara yang tidak memaksakan pandangan mereka kepada orang lain dan tetap menghormati perbedaan dalam masyarakat. Moderasi beragama bertujuan untuk mengurangi konflik, memperkuat kohesi sosial, dan menciptakan harmoni di antara berbagai kelompok agama dan budaya. Ini melibatkan sikap terbuka, dialog yang konstruktif, dan kesediaan untuk memahami serta menerima perbedaan.

Sampai disini, saya menamatkan pengertian itu untuk selanjutnya merogoh kantong-kantong peradaban yang sejarah mencatatnya sebagai Budaya Mandar. Dalam hal ini, kita tentu menyaksikan berbagai macam fakta, data dan fenomena yang terjadi serta banyaknya ungkapan dalam struktur dan pranata budaya Mandar. Nyaris semuanya menampilkan lambang-lambang religi yang begitu dalam dan mendasar. Ini tentu menjadi lokus awal menemukan konsep moderasi
 
Agama sebagai sistim kredo, sistim ritual dan sistim norma begitu lekat dan menyatu dalam pertumbuhan budaya Mandar. Lagi-lagi Ini sebuah proses moderasi bergama yang tak bisa diabaikan dalam perliterasian kita. Agama sebagai dogma tentu bersifat universal dan bebas dari pretensi budaya tertentu, akan terkait dengan unsur-unsur universal dalam simbol nilai suatu budaya, termasuk didalamnya budaya Mandar. 

Hal tersebut dapat terbaca dalam sistim religi dan sistim upacara keagamaan, termasuk sistim organisasi kemasyarakatan, pengetahuan, bahasa dan kesenian. Sehingga terkadang kita menemukan kesulitan untuk menemukan indikasi sesuatu dogma agama dalam simbol-simbol budaya, apabila kita tidak melalui pendekatan melalui metode hermeneutik, termasuk pembacaan fakta-fakta dan ungkapan pada simbol-simbol budaya Mandar. 

Metode hermeneutik sebagai bagian dasar dari ilmu sejarah agama (History Of Religion, sebagai term yang disepakati dalam International For The History Of Religion, untuk mengakhiri kekacauan sebelumnya, semisal The Comparative Study Of Religion, Comparative Religione, Phenomenology Of Religion, Science Of Religion, History Of Religione, Historico, Phenomenology Of Religione), tidak hanya sekedar menafsirkan fakta untuk mengungkap artinya, tetapi juga berfikir kreatif terhadap fakta itu, sehingga metode hermeneutik harus kreatif sifatnya. Akibatnya ialah, penghindaran dari kecenderungan sikap subyektifisme dan ungkapan obyektifitasnya dapat menguak arti yang sebelumnya tidak jelas dan samar menjadi terang. Ini kemudian menbuat orang menjadi sadar terhadap kekayaan rohani yang terkandung dalam masyarakat arkasis, seperti dalam budaya masyarakat Mandar. 

Ilmu sejarah agana tidak membandingkan satu agama dengan agama lainnya sebagai satu unit yang utuh dan dogmatis, tetapi fakta religius itu dikumpulkan kemudian diklasifikasikan menurut jenisnya seperti mitos, lambang, ritus, lembaga religius dan lain-lain. Apabila kita membaca ulang mitos-mitodms kosmologis dan mitos-mitos asal usul yang masih tersimpan dalam khasanah budaya Mandar, akan bermunculan lambang-lambang yang memerlukan penafsiran dari arti harfiyahnya yang faktual, agar makna dibalik lambang-lambang tersebut dapat dimengerti dan difahami. 

Salah satu ciri khas budaya Mandar ialah bahwa budaya ini sarat dengan lambang-lambang  nilai budaya yang tinggi dan sangat dalam. Konsep kosmogoni dalam budaya Mandar, mengenal tiga lapis dunia (kosmos) yang saling terkait. Dunia atas disebut dengan Langi', dunia bawah disebut dengan Buraliung, sedangkan dunia tengah tempat manusia eksis disimbolkan sebagai Buraliunna Langi' anna' Langi'na Buraliung. Dalam ungkapan lain mereka telah menempatkan dunia manusia dan lingkungannya sebagai pusat (poros) kosmos (alam raya) atau axis mundi. 

Dalam mitos-mitos antropogonis, kita bertemu dengan konsep tentang Tomanurung yang turun dari langit. Dalam hal ini sekaligus terkait dengan hubungan sakral antara langi' sebgai simbol eksistensi dunia transedensi (maha pencipta) dengan eksistensi dan substansi manusia sebagai utusan dari (turun dari) Langi'. Personifikasi leluhur yang mereka sebut dalam mitos adalah Tokombong di Bura yang selanjutnya menurun Pongka Padang yang menikah dengan Torije'ne. Keduanya ini adalah jejak terpenting dalam konsepsi empat Tomanurung di Mandar. 

Simbol nilai budaya dan simbol religi dalam kehidupan Masyarakat Mandar terkadang susah menemukan indikasi sesuatu dogma agama tertentu, kecuali dengan pendekatan ilmu sejarah dan metode hermenetik tadi. Lihatlah simbol-simbol dari berbagai perangkat budaya seperti paccinang, paleko', sitto, kerbau dengan berbagai macam lambang; Sang Hyang Sri, Patung Budha yang ditemukan di Sikendeng; tradisi pembacaan mantra-mantra sebagai bahasa metafisis, semuanya itu memerlukan tafsir-tafsir secara kreatif komprehensif nilai-nilai yang ada di dalamnya, yakni nilai-nilai religi dan homo-religius dalam budaya Mandar. 

BERSAMBUNG....


Komentar