By: Sahabuddin Mahganna
Instrumen bunyi yang mengindikasikan kesederhanaan para pelakunya. Perkenalan pertama pada tahun 1998 hingga memainkannya, dan yang menjadi sorotan utama sebab ketika benda itu melantun di Yogyakarta pada perhelatan musikalisasi puisi di Piramid Center 2003, para pelaku seni dan budayawan secara nasional ternyata begitu asing padanya, dan sejak itulah, saya memulai penelitian kecil di wilayah pesisir Mandar dan menggugah hasrat untuk menyelidiki secara ketat.
Calong, sebuah nama yang melekat sesuai penyebutan populer bagi penunggu tanaman (petani) tradisional. Di Mandar, alat ini mampu mencatat sejarah karena kedekatan psikologi pelaku yang begitu menguntungkan di eranya, selain menghibur juga menjadi pengusir hama tanpa harus melenyapkan nyawa.
Keistimewaan Calong (instrumen musik tradisional Mandar) ditunjang dengan keterlibatannya mem-bersama-i masyarakat dan berkembang-sekarang, seolah menjadi magnet baru. Tidak jarang bahwa media musik ini sudah sering tampil di perhelatan penting baik itu lokal, nasional maupun internasional, alunannya memukau, menjadi karakter tersendiri untuk pilihan kategori kebudayaan bunyi di Indonesia.
Apapun itu, meski jenisnya bukanlah satu satunya di dunia, namun bukan berarti Calong tidak bisa bergeser dari bentuk-bentuk sebelumnya yang sudah populer dalam catatan musik tradisi, sehingga ini pulalah yang menghantarkan alunannya menjadi pembeda dan berhasil menyabet peringkat terbaik, sebut saja di festival musik tradisi anak-anak nasional di Jakarta 2009 dan 2014, menjadi duta Indonesia di Indigenous Pribumi Asli dari sembilan negara yang terkumpul di Malaysia 2015.
Secara kolosal pun, ketika tahun 2006 dan tahun-tahun setelahnya, Calong begitu berarti pada pertunjukan penting untuk daerah, membanggakan mereka seolah-olah wilayah ini telah menemukan sebuah pembeda dan karakter meski dianggap sebuah hasil domistikasi ritmis (hibrid), dengan kata lain, meniru secara referensi. Dan pembuktian itu dilakukan pada abad-abad silam ketika paham islam belum masuk di wilayah ini.
Kini, para juri, kurator dan KPU Polewali Mandar telah memilih ikon Calong dari hasil sayembara sebagai maskot untuk Pilkada tahun 2024. Pilihan ini bukan tanpa alasan sebab kurasi nya memang begitu panjang, hingga mengalahkan dari sekian banyak peserta. Desain maskot Calong untuk Polewali Mandar, cukup berpengaruh dalam deskripsi pilisofinya yang tercatat sebagai simbol bangsa yang harmoni, mewakili empat arah mata angin (appe sulapa) dan yang paling penting adalah Calong teridentifikasi sebagai bagian dari nilai dan sejarah. Bukan itu saja, Calong diyakini akan menjadi pembeda dari bentuk-bentuk yang sudah terpilih di Indonesia, lalu boleh jadi digunakan sebagai spirit baru yang memang benar-benar punya daya tarik sebagai bagian dari identitas wilayah.
Selain itu, jingle yang juga merupakan hasil dari sayembara, pemenangnya telah dipilih sebab mampu melewati dari persaingan ketat, memenuhi syarat inti yang dilayangkan oleh panitia dengan relevansi tema, originalisasi karya, unsur musikal karakter wilayah, dan kemampuan mengolah bunyi yang harmoni, tentu saja dari lirik yang sangat mengajak kepada semua pihak untuk berpartisipasi dalam pemilihan bupati dan wakil Polewali Mandar 2024.
Penentuan jingle ini secara keseluruhan telah ditentukan dengan pertimbangan yang matang dan obyektivitas nya yakin tidak diragukan tanpa ada tekanan dan intervensi dari pihak manapun. Diharapkan mampu membuat masyarakat tergugah dalam memilih pasangan yang betul betul dari hati, sebab antara Maskot dan Jingle telah memadu dan siap untuk diluncurkan.
Akhirnya selamat kepada pemenang, Ahmad Ridhai Asis (Maskot) dan Aksi Madewa (Jingle) berkarya lah terus demi kemajuan daerah.
Komentar
Posting Komentar