AKU DAN AYAHKU


Oleh: Abd Rahman Hamid 

Tiba-tiba saja saya terpikir tentang Ayahku, Supina Hamid. Ia meninggal saat saya kelas 4 SD. Pekerjaanya adalah Guru SD Inpres Erang, Kec. Seram Barat, Kab. Maluku Tengah, Provinsi Maluku. 

Ayah tamat Pendidikan Guru Agama (PGA) 6 Tahun di Tulehu, sehingga kemudian menjadi Guru Agama. Namun karena di SD, maka ia harus bisa nengajar semua mata pelajaran di kelas. Maklum, jumlah guru sangat terbatas. 

Berlatar kehidupan ayah sebagai guru itulah membuat saya sejak kecil, setidaknya dalam setiap ada tugas mengarang di sekolah, bercita-cita untuk menjadi guru. 

Apa yang saya tuliskan saat itu hampir semuanya terwujud. Setelah tamat SMP di kampung, saya melanjutkan studi di SMK N 1 Ambon (Waiheru) 1997-1999. Namun, karena konflik, saya terpaksa pindah ke Kota Baubau, Sulawesi Tenggara (1999-2000). 

Yang berbeda saat kuliah. Menurut karanganku, saya akan kuliah di Universitas Pattimura Ambon, kampus kebanggan bagi semua anak2 di Maluku. 

Faktanya, saya kuliah di Univerisitas Negeri Makassar, pada jurusan Pendidikan Sejarah (2000-2004). Di sini saya belajar untuk menjadi guru, sebagaimama pernah saya tulisan dalam karangam Cita-citaku. Setelah tamat, saya mengajar sebagai Dosen LB di almamaterku, hingga akhirnya lanjut S2 di Universitas Hasanuddin, sembari saya mengajar (tentor) di Bimbel Ganesha Operation. Aktvitas ku seputar dunia pengajaran (alias guru). 

Tahun 2015-2019, saya lanjut studi S3 di Univ. Indonesia Jakarta. Saat masih kecil, ayahku selalu bilang bahwa jika kami besar nanti sekolah di Jakarta, ibukota RI. Pasalnya, cerita ibuku, bahwa dulu ayah punya rencana mau ke Jakarta bersama teman2 di kampung, tetapi karena kendala biaya, ia tidak bisa pergi. Lalu, ia bilang ke teman2nya, kalau saya tidak bisa ke Jakarta  nanti anaknya yang akan ke Jakarta kelak. Alhamdulillah, mimpi ayah itu saya wujudkan saat kuliah di UI. 

Setelah 15 tahun (2005-2020) menjadi dosen tidak tetap di Makassar (pada 3 kampus: UNM, Unhas, dan UIN Alauddin), akhirnya saya menjadi dosen tetap atau ASN di UIN Raden Intan Lampung (2020-sekarang). Jadi, cita-cita yang pernah ku tulis di selembar kertas kala SD pun terwujud, yakni sebagai guru bagi mahasiswa di kampus, alias dosen. 

Dua kenangan tentang Ayahku

Foto di bawah, ayah mengenakan baju dinasnya sebagai guru SD Inpres Erang bersama temannya, Pak Enos (seorang Kristiani, yang pernah berniat mengikuti keyakinan ayahku, tetapi belum terwujud sampai ajal menjemput ayahku, 1994). Hubungan mereka begitu akrab. Saat di tempat tugas, kami tinggal di rumah dinas sekolah. Bilik yang kami tempati bersebelahan dinding dengan bilik keluarga Pak Enos. 

Kalau ayah ke sekolah mengajar, saya sering ikut masuk di kelas, walau sering ke sana ke sini, alias mengganggu siswa2 yang sedang belajar. 

Ada satu kebiasaan ayah ku. Setiap tahun ajaran baru, ayah akan ke kota Ambon untuk membelikan aku buku2 pelajaran sekolah yang lengkap. Sejak itulah, saya selalu terobsesi untuk memiliki buku2 sekolah. 

Dan, ketika ayah meninggal, ibuku selalu berupaya agar saya bisa membeli buku2 pelajaran sekolah. Dengan begitu, semangat untuk memiliki buku terus terjaga pada ku. 

Walhasil, hingga kini, saya senang membeli buku. Sering kali saya lebih banyak/lama menimbang2 saat belanja di luar buku. Tapi, soal buku, selagi ada uang, saya akan berupaya membelinya. 

Selain itu, ada lagi kesan yang tak pernah aku lupakan dari ayah. Ketika kami ke kebun kami di Tanjung Temi, kami naik perahu bercadik bersama. Saya dusuk di depan dan ayah di tengah mendayung perahu. Tetapi, saat kami pulang, perahu penuh dengan muatan, sehingga ayah tak dapat baik di perahu. Maka, aku lah yang harus mendayung perahu dari Tanjung sampai di kampung. 

Ayah tak peduli soal ombak dan angin saat itu. Bila perahu telah didorong ke tengan laut, walau berseberangan dengan ombak, maka saya harus berusaha keras menerjang ombak hingga ke tengah laut sampai kondisi tenang. Ayah berseru "dayunglah ke tengah laut hingga tiba di kampung". Ayah akan marah sekali bila ada gelagat dari saya akan kembali ke pantai, akibat diterpa ombak. Ayah mengajariku untuk menghadapi ombak itu. Begitu pula saat akan tiba di kampung. Saya harus bisa mengendalikan perahu sampai tiba di tepi pantai dengan dihantar oleh gelombang ombak laut. Untunglah, rumah kami di tepi pantai, sehingga tak perlu harus memikul barang2 lebih jauh ke rumah. 

Itulah dua hal yang selalu aku ingat dari kenangan bersama ayah. Dia mewariskan karakter mencintai buku dan kerja keras. Menjadi dosen/guru adalah cita-citaku sejak ayahku, juga seorang guru, masih hidup. 

Dari 4 bersaudara (Abd Rahman, Rahmawati, alm. Yasir, dan Zulfina lalu diganti menjadi Nur Aisah; semuanya pakai marga/nama belakang Hamid, yang dia bil dari nama kakek kami, Hamid), saya adalah anak pertama dan yang meneruskan profesi ayah sebagai guru. 

Karena teringat dengan sosok ayah ku, hari ini saya minta adiku, Wati, untuk mengirimkan foto ini.

Komentar