SUHARDI DUKA || Menenun Layar Masa Depan (1)



Disunting oleh Muhammad Munir

SUHARDI DUKA, demikian nama lengkap dari sosok birokrat dan politisi yang akrab disapa SDK ini adalah inspirasi bagi anak negeri ini khususnya generasi Mandar (baca: Sulbar). SDK tentu tak harus dibaca hanya pada level saat ini. Bahwa mantan Bupati dua periode dan Anggota DPR RI 2019-2024 yang kembali terpilih pada Pemilu kemarin ini  adalah sosok yang pernah merasai pahit getir kehidupan yang ia nikmati prosesnya. SDK pernah merasakan naik vespa tua yang setiap harinya dipakai ke Kantor Departemen Penerangan Mamuju. Itu ketiks masih menjadi seorang PNS. Ia lalu beranjak dari zona itu dan mulai menikmati empuknya jok dan laju Pajero ketika menjadi Bupati Mamuju. Sekarang pun ia menikmati jerih payahnya itu sebagai wakil rakyat di Senayan. Putra putrinya sukses dibidangnya masing-masing. Ada yang Ketua DPRD Propinsi, ada yang Bupati dan lainnya.

Apakah posisi SDK hari ini dicapai dengan instan? Tentu tidak. Dalam sejumlah narasi yang penulis temukan SDK itu lahir dari keluarga yang bukan Putra Mahkota di Kerajaan Mamuju, Ia juga bukan anak Gubernur atau anak Bupati yang hidup dalam gelimang harta dan dimanjakan fasilitas. Bapaknya  hanya seorang Staf di Kantor Depdikbud Mamuju yang tentu jauh dari kehidupan mewah. SDK adalah sosok yang berhasil menjadi kapten bagi hidupnya dan tuan bagi nasibnya. Dalam posisi ini, SDK layak jadi panutan yang diedukasi pada setiap tingkatan masyarakat Sulbar. Bahwa salah satu harapan kita adalah, munculnya manusia-manusia intan yang lahir dari proses, bukan manusia instan yang lahir tanpa proses.


Mengenal Kehidupan SDK Kecil.

SDK lahir di Mamuju pada 10 Mei 1962. Bapaknya bernama Abdul Muttalib Duka. Potret kehidupan SDK dari kecil lahir dan bertumbuh layaknya anak-anak kampung. Ia akrab dengan alam dan lingkungan sekitar. Setiap musim panen padi di sawah, SDK bersama anak-anak lainnya berhamburan untuk sekedar bermain padi-padian dan mengambil daun padi yang lebar lalu di bentuk seperti perahu. Perahu buatannya itu dilombakan dengan temannya pada genangan air. Proses ini pasti tak akan difahami oleh anak-anak milenial, terlebih generasi Z.

SDK juga akrab dengan lingkungan sungai, berenang di arus deras, memanjat pohon mangga, langsat dan lainnya. Kadang juga ikut nakal memanjat buah-buahan milik warga meski niatnya sekedar iseng dan main-main. Ini potret anak-anak kampung pinggiran yang tak kenal game, penulis juga sempat merasakan ini pada dekade 80-90an. Ketika menginjak bangku sekolah SD bahkan sampai SMP, SDK kecil masih saja nakal. Bolos dan merokok tak lagi terpisahkan dari keseharian SDK. Merokok ini rupanya sangat dibenci oleh bapaknya, kendati kebiasaan merokok itu tidak menjadi persoalan bagi SDK du sekolah, sebab ia punya om di sekolah yang ia tempati belajar.


SDK Remaja : Mulai Berubah

Waktu terus berjalan mengitari proses kehidupan seorang SDK. Kenakalan dari kecil sampai tamat dibangku SMP mulai kelihatan berubah ketika usianya menanjak dan masuk ke SMA Negeri 1 Mamuju. Pikirannya sudah mulai memformat dirinya untuk bisa meraih prestasi. Ia mulai tekun belajar, terlebih saat didapuk jadi ketua kelas. Ia bahkan mulai membuat ruang kreatif bernama Study Club dan dipercaya menjadi ketua. Ini membuat SDK menjadi lues bergaul, termasuk dengan anak-anak pejabat di Mamuju. Baginya, status sosial dan kondisi ekonomi bukan penghalang baginya untuk berbaur. Bakat kepemimpinan mulai tertanam saat jadi ketua kelas dan Study Club. Kecendrungannya menyukai bidang studi IPS terbaca dengan kegemarannya menyerap dasar-dasar ilmu politik.

3 Tahun di SMA mengubah SDK menjadi seorang remaja yang berprestasi. Ia lulus ujian dan meraih peringkat lulusan terbaik. Atiek Sutedja, Bupati Mamuju kala itu hadir mengalunkan pita ke leher SDK disaksikan oleh ayahnya di acara perpisahan yang dihelat di Aula SMA Negri 1 Mamuju. Hal yang membahagiakan SDK adalah prestasinya diganjar dengan nominal rupiah yang khusus diperuntukkan membiayai pagar sekilahnya. Ini menjadi modal sosial yang kelak dinikmati oleh adik-adik kelasnya. Di acara itu, SDK disorot oleh ratusan pasang mata para orang tua siswa dan 100 orang siswa yang tamat, termasuk sosok seorang gadis yang pernah ia kagumi tentunya.

Setelah tamat SMA, SDK nekat ke Makassar. Tak ada yang ia harapkan jadi pengurus untuk lanjut kuliah. Tekad untuk melanjutkan studi di Makassar terus menggunung. Praktis, ia masuk kota Makassar bagaikan masuk hutan rimba. Baginya, menjadi mahasiswa UNHAS adalah impiannya. Dan tercatat, SDK adalah satu-satunya siswa asal Mamuju yang namanya tercantum pada kolom pengumuman di Kampus Baraya Unhas. Ia tercatat sebagai mahasiswa di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) UNHAS tahun 1981.

Sejak menjadi mahasiswa di Kampus Unhas Baraya, SDK melabuhkan pilihannya pada organisasi ekstra kampus Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Dari sini ia mulai melayari dinamika politik nasional, meski pada pemahaman paling dasar. Dari SDK kian matang setelah tercatat jadi pengurus PMII Komisariat Unhas yang bersamaan sebagai pengurus organisasi intra kampus yakni Komisariat Korps Mahasiswa Publisistik (Komapu). Selain itu, ia juga bergabung pada penerbitan kampus Tabloid Identitas, salah satu media kampus terbaik di tingkat nasional pilihan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta dan Lembaga Pers Doktor Sutomo Jakarta. Dari sinilah SDK mendapatkan kesempatan ketemu penulis penulis ternama sekelas Sinansari Ecip dan Goenawan Mohammad.

Selain bergabung di organisasi Ekstra dan Intra Kampus, SDK juga menjadi bagian dari organisasi HIPERMAJU. Aktif berorganisasi rupanya tak menghambat kuliahnya, ia bahkan kian matang. Itu karena SDK tak pernah melewatkan dinamika yang terjadi. Ia bahkan terlibat dalam aksi pembakaran mobil Wali Kota Madya Ujungpandang, Kolonel Abustam. Beruntung, Ahmad Amiruddin kala itu mengayomi mahasiswanya sehingga tak ada satupun yang dapat sanksi skorsing. Ahmad Amiruddin faham betul bahwa tindakan Abustam mencampuri urusan kampus dengan dalih sesuai aturan NKK-BKK adalah tindakan yang melanggar otonomi kampus.


Pernikahan SDK

SDK yang dikenal sebagai aktifis di kampus itu tentu menjadi primadona. Tapi ada sosok yang membuat hatinya tertaut ketika pertama ketemu di sebuah pesta salah satu kerabatnya. Sosok itu tak lain adalah Harsinah, mojang Gowa yang parasnya nyaris menguasai tidurnya. Gejolak hatinya begitu membuncah hingga akhirnya ia memutuskan untuk  mempersunting gadis pujaannya itu. Ketika itu Tahun 1983, SDK berusia 21 tahun dan masih berstatus sebagai  mahasiwa. Ayahnya merestui untuk menikah dan hadir sebagai penyaksi ikatan suci putranya dengan Harsinah. Keduanya telah sepakat untuk hidup bersama dalam suka duka. Setahun kemudian lahir anaknya yang pertama bernama Sutinah Suhardi.

Kelahiran anaknya yang pertama membuatnya harus bekerja untuk kebutuhan keluarga dan biaya kuliah tentunya. Ia mulai bekerja di BKBN dan TVRI Makasaar sampai pada tahun 1985 terbuka penerimaan pegawai di Departemen Penerangan (Deppen). SDK diterima masuk PNS dengan Golongan II dan ditempatkan di Mamuju. Praktis SDK harus menyelesaikan kuliahnya yang tinggal setahun dijalaninya sekaligus sebagai PNS. Selesai kuliah, SDK mendapatkan dua hal berharga, yaitu ijazah sebagai tanda pernah belajar dan istri serta anak sebagai tanda bahwa ia adalah anak muda yang bertanggung jawab.   

Tahun 1986, SDK berupaya penyesuaian menjadi Golongan III dan pulang ke Mamuju bersama keluarga kecilnya. Ia kembali ke kampung halamannya membawa modal berupa ijazah sarjana, pengalaman organisasi, seorang istri yang setia, satu orang anak dan SK PNS.

BERSAMBUNG 

Komentar