SIAPA PEMIMPIN IDEAL UNTUK SULBAR ?


Catatan Muhammad Munir


Pengantar

Menjelang Pemilihan Gubernur Sulawesi Barat tahun ini kian seru. Sebelumnya Pasangan PHS - ARWAN penuh sorak sorai pendukung dengan ekspektasi Golkar akan menjadi kendaraan politiknya di Pilgub Sulbar. Disusul SDK - JSM melakukan Roadshow politik dengan rute Bandara Tampapadang ke Rumah Jonga. Pasangan ini melakukan Konferensi Pers di Rumah Jonga yang ikut dihadiri ribuan massa pendukung. Hari ini (8 Agustus 2024) konstalasi politik berubah setelah DPP  Partai Golkar mengumumkan Padangan ABM - ARWAN untuk maju sebagai Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Barat 2024-2029. Ini tentu menjadi pukulan telat bagi Prof. Husain Syam, sebab pada akhirnya, Arwan Aras yang tadinya digadang-gadang sebagai wakilnya justru berlabuh di Matakali bersama Golkar. Kini, Arwan resmi berpasangan dengan ABM.


Praktis, beberapa hari ke depan, kita akan masih dijejali informasi terkait langkah Sang Professor Andalan itu memilin nasibnya, apakah masih akan percaya diri melanjutkan hajatan setelah kehilangan Arwan dan Partai Golkar?. Termasuk kita masih menunggu informasi dari AIM, pemilik tagline Sulbar Jago akan terus melangkah maju menjadi rival ABM yang tak lain adalah kakak kandungnya?. Bisa jadi ia, sebab AIM dikenal tak pernah mundur atas semua pilihan politiknya, sebagaimana Pilkada Polman 2008, ia dengan bangga berkontestasi dengan saudara kandungnya sendiri.


Memilih Pemimpin atau Penguasa

Setidaknya, dari 4 sosok yang sebagian masih berburu partai untuk kendaraan politiknya, ada hal prinsip yang bahkan wajib untuk kita perbincangkan dari momentum ini, yaitu 'Pemimpin VS Penguasa'. Mengapa harus memaketkan kata 'Pemimpin' dan 'Penguasa' ? Sebab dari Pilkada ini akan lahir penyandang salah satu dari sifat Tuhan yaitu sebagai Pemimpin dan sebagai Penguasa. Membincang kedua kata itu, masih menjadi hal menarik sebab dari rahim UU Pilkada inilah kemudian lahir sebagai pemimpin dan penguasa.

Lalu apa indikator kita memberi nilai pada sosok pemimpin dan penguasa yang akan dilahirkan di Pilkada kali ini ?. Mari kita runut defenisi pemimpin itu sendiri, kerena pemahaman pada arti kata pemimpin ini, ketika tak mampu memberi nilai pada predikat pemimpin yang disandang, maka sebut dan panggil ia penguasa. Penguasa yang hanya menjadikan jabatan sebagai status sosial untuk gagah-gagahan di depan rakyat yang tentu saja ia beli saat kampanye. 


Menelisik Arti Kata Pemimpin

Secara harfiah Pemimpin adalah orang yang memiliki kelebihan sehingga dia mempunyai kekuasaan dan kewibawaan untuk menggerakkan, mengerahkan, dan membimbing  bawahan. Dalam pengertian lebih luas Pemimpin adalah seseorang yang memimpin dengan jalan memprakarsai tingkah laku sosial dengan mengatur, menunjukkan, mengorganisir dan mengontrol usaha orang lain atau melalui prestise kekuasaan.

Adapun pengertian pemimpin menurut para ahli antara lain; Drs. H. Malayu S.P. Hasibuan, mengatakan bahwa Pemimpin adalah seseorang dengan wewenang kepemimpinannya mengarahkan bawahannya untuk mengerjakan sebagian dari pekerjaannya dalam mencapai tujuan.
Sementara Robert Tanembaum mengatakan, pemimpin adalah mereka yang menggunakan wewenang formal untuk mengorganisasikan, mengarahkan, mengontrol para bawahan yang bertanggung jawab, supaya semua bagian pekerjaan dikoordinasi demi mencapai tujuan. Lebih lanjut Prof. Maccoby, menjelaskan bahwa pemimpin pertama-tama harus seorang yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan segala yang terbaik dalam diri para bawahannya. Pemimpin yang baik untuk masa kini adalah orang yang religius, dalam artian menerima kepercayaan etnis dan moral dari berbagai agama secara kumulatif, kendatipun ia sendiri mungkin menolak ketentuan gaib dan ide ketuhanan yang berlainan. Di lain pihak Lao Tzu, menilai bahwa pemimpin yang baik adalah seorang yang membantu mengembangkan orang lain, sehingga akhirnya mereka tidak lagi memerlukan pemimpinnya itu.

Yang menarik kemudian dari beberbagai penjelasan tentang pemimpin adalah almarhum Prof. DR. Darmawan Mas'ud Rahman, dalam desertasinya yang sudah dibukukan, secara gamblang menarasikan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang yang mau menjadi pemimpin. Berikut saya kutip secara singkat penjelasan beliau, bahwa ada 4 point yang harus dimiliki seorang yang mau menjadi dan dijadikan pemimpin, yaitu: Bija (turunan karena darah), yaitu (1) Bija to mappatumballe' lita' (penjaga dan penyelamat negri), bija maasse'i lokko' anna siri' (menjaga utuhnya aib dan malu), bija tau dipesissi'/dipebulu (disegani karena memiliki sifat -sifat yang utama), bija tau pia (turunan mara'dia atau turunan adat). (2) Manarang (berilmu), matadang pikkirang (berfikiran tajam), Matadang nawa (inisiatif dan inovatif), Matadang pe'ita (berpandangan jauh kedepan, visioner), Matadang ate (cerdas dan terampil) (3). Barani (berani dan berjiwa pejuang), barani di loa tongan (berani mempertahankan kebenaran), barani maasse'i bottu loa (berpegang teguh pada pendirian), Barani mappadiang sara mapia (berbuat untuk kebaikan), Barani simateang anna sianusan tau maranni (berani mati untuk rakyat). (4) Sugi' (mempunyai kemampuan dan kekayaan), sugi' di nawa-nawa (kaya imajinasi), sugi' di paissangan (kaya ilmu pengetahuan), sugi' di perasa (kaya pengalaman), sugi' di barang-barang (kaya harta)


Belajar Dari Sejarah

Abu Dzar Al Ghifari, adalah salah seorang sahabat Rasulullah yang terkenal shaleh, amanah. Suatu hari ia menghadap junjungannya dan berkata; " Wahai Rasulullah, berikanlah kepadaku satu tanggung jawab politik, angkatlah aku menjadi salah seorang staf kepercayaanmu untuk mengurusi pemerintahan sebagaimana Ali dan Usamah."

Rasulullah menjawab dengan sangat bijak; " Abu Dzar, kamu adalah salah satu dari sahabatku yang terbaik, setia dan amanah. Tidak ada yang meragukan kesabaran dan keikhlashanmu, akan tetapi kamu tidak memiliki kecakapan politik juga mengurusi pemerintahan."

Melalui kisah ini, manusia agung itu memberikan penegasan kepada mereka yang ingin terjun kedalam dunia politik dan tanggung jawab pemerintahan. Melalui pesan sejarah ini juga mungkin Rasulullah ingin mengingatkan bahwa tanggung jawab sosial adalah amanah yang harus ditunaikan oleh setiap manusia dan keharusan itu tidak melulu menjadi pemerintah, berkuasa atau menjadi pejabat publik. Sebab menjadi pejabat pemerintahan membutuhkan kematangan mental dan keahlian khusus dalam menangani persoalan-persoalan masyarakat (pa'banua) yang tentu membutuhkan pendekatan akademis lalu menentukan dengan adil beberapa kebijakan yang akan diambil. Tanpa itu, Nabi mewanti-wanti untuk tidak memasuki tanggungjawab yang pada akhirnya marruppu-ruppu banua.

Dalam bukunya, Catatan Bangsa Yang Sakit (2012), Maenunis Amin membentuk dua spektrum analogis terkait pesan nabi pada kisah Abu Dzar tersebut; Pertama: Abu Dzar tidak diberikan tanggung jawab politik padahal ia seorang yang shaleh dan amanah, apatah lagi kepada orang yang tidak amanah, berperangai buruk dan khianat. Kedua: nabi tidak menjadikan faktor kedekatan ataupun kekerabatan untuk amanah politik, apatah lagi jika harus menjadikannya sebagai warisan turun-temurun (politik dinasti).

Apakah lantas Abu Dzar Al Ghifari kecewa atas keputusan Nabi yang agung itu. Tidak ! Abu Dzar justru menerima dengan lapang hati nasehat junjungannya tersebut. Dan terbukti Abu Dzar tanpa menjadi pelaku politik ia menjadi tokoh sejarah yang ditulis dengan tinta emas yang mengukir semangat kebijaksanaan, kerendahan hati, dan sikap mendahulukan kemaslahatan dari sekedar mengobar nafsu kuasa dan keinginan menjadi pejabat.


Me-Redefenisi Kata Politik

Dari beberapa uraian tentang Pemimpin dalam sudut pandang tokoh dan sejarah yang saya urai diatas, mari kita mengerucutkan persoalan dengan menggali khasanah kebudayaan kita sebagai orang Mandar, yang nota bene berdiam dan menjadi wajib pilih dalam proses Pilkada ini.  

Hal yang tak bisa kita abaikan adalah bahwa dalam proses pilkada nanti, kata politik yang menjadi hulu dari dari sebuah pemilihan tentu harus bermuara pada situasi yang tidak bisa tidak, harus bisa meredefenisi kata politik secara ilmiah, sebab dalam beberapa proses pemilihan yang pernah ada, masyarakat tentu harus bisa belajar dan menjadi tercerahkan tentang pemaknaan tentang kata politik tersebut. Jika kita mau bijak, sejatinya sekarang kita memahami Politik sebagai amanah sosial untuk hidup saling menghidupi secara jujur dan adil. Politik adalah kematangan mental dan kerendahan hati dalam kekuasaan. Politik adalah keahlian akademis dan bukan lingkaran warisan atau sekedar barang oplosan yang diraih dengan uang.

Kendati meredefenisi makna politik ini sebagai sebuah keharusan, tentu hal ini tak akan serta merta memberi positif side efect yang signifikan dari masyarakat kita yang terlanjur terkontaminasi fikirannya dan menganggap politik sebagai sebuah ajang sipage-pagengge, tipu menipu, sikut menyikut dll. Namun kondisi ini kita harapkan dengan regulasi sistem pilkada yang mengacu pada UU Pilkada yang baru, maka pragmatisme dalam proses pemilihan, sejatinya melahirkan kesadaran kolektif dengan merubah paradigma masyarakat kita tentang arti, makna, hakikat dari sebuah kontestasi politik di Pilkada.

Tentu saja upaya ini tidak serta merta mampu mengubah pola fikir dan laku para konstituen secara akar rumput, sebab sebagian dari mereka terlanjur terbiasa dengan praktek-praktek politik kotor dari politisi yang haus kekuasaan dengan logika uang. Sehingga di lapangan kita kerap masih harus mengurut dada dari masyarakat kita yang apatis melihat proses pemilihan yang tak dibarengi dengan sistem pendidikan politik yang cerah dan mencerahkan.

Sikap apatis itu juga kemungkinan berupa  golput, karena mereka telah membuat generalisasi serta asumsi bahwa pilkada hanya sekedar rutinitas politik lima tahunan yang toch tidak akan signifikan pada perubahan nasib maupun taraf hidup mereka. Atau mungkin juga sebagian akan berfikiran bahwa pilkada hanyalah ajang marginalisasi suara rakyat yang cenderung hanya menguntungkan kalangan elit politik.

Dari semua fragmen hidup yang tercipta dan terlakonkan inilah yang harus menjadi tugas dan tanggung jawab bagi penyelenggara pilkada, pemerintah dan para kandidat untuk tak lagi memberi janji, pembodohan dan mengiming-imingi rakyat dengan berbagai bentuk fasilitas yang hanya membuai mereka dengan bualan dan dandanan politik murahan.

Masyarakatpun seharusnya bisa tercerahkan dan sadar bahwa selama ini mereka menjadi produk jualan yang  tak punya nilai, dan memposisikan diri mereka, dari manusia sebaik-baik bentuk menjadi manusia yang baik untuk dibentuk. Ketika kesadaran lahir maka yang akan lahir dari pemilihan kali ini adalah Pemimpin yang bermental 'Pelayan', bukan Penguasa yang bermental 'Pengusaha'


Memilih Pemimpin dalam Perpektif Amandaran.

Mengapa Mandar ? Dari Mandarlah lahir Sulawesi Barat, dan tagline Sulbar Mala'bi' tentu harus dimulai dari cara mala'bi' memilih pemimpin dan pemimpin yang mala'bi' tentu harus bisa mengelaborasi Mandar sebagai tatanan pola dan nilai-nilai yang terkandung dari filosofi Amandaran itu.

Mandar dalam memilih pemimpin sekelas I Manyambungi Todilaling, I Billa-Billami Tomepayung, I Daetta Tommuane, Ma'ga Daeng Rioso', Tokape, I Calo' Ammana Wewang dll. Prosesnya itu dipersiapkan, mereka adalah manusia yang dipersiapkan, sejak lahir mereka ditempa, tidak sekedar dilahirkan. Saat lahir, kalangan kerajaan menanam pohon kelapa, dan pertumbuhan kelapa itu menjadi parameter dalam penilaian layak tidaknya anak tersebut dijadikan pemimpin. Jika pohon kelapa itu tumbuh dan berkembang dengan cepat (rondong tuo) maka pertanda bahwa anak itu layak dipersiapkan jadi pemimpin. Sebaliknya, jika pertumbuhannya tidak sehat (ma'doyong-doyong) hal tersebut menjadi pertimbangan untuk dijadikan pemimpin.

Hal itu terjadi karena Mandar memang dari dulu mengsakralkan pemimpin dan sangat hati-hati mengangkat pemimpin. Itu terbukti dengan tidak adanya sistem dinasti di kalangan kerajaan, sebagaimana pernyataan salah satu Mara'dia/Arajang Balanipa yang mengatakan; " Madzondong diang bongi anna lelea' pammase, mau ana'u mau appou damuannai menjari mara'dia mua' tania tonama'asayangngi pa'banua. Da muannai dai' dipe'uluang mua' masuangi pulu-pulunna, mato'dori kedzo-kedzona, apa' iyamo tu'u namuarruppu-ruppu' banua."

Inilah wujud amala'biang Mandar dalam memilih pemimpin (Mara'dia). Tidak hanya saat dilahirkan, saat mereka dipilih untuk menjadi pemimpin dan saat menjadi pemimpin, mereka dibekali dengan konsep yang jelas dan itu menjadi kewajiban untuk diimlementasikan dalam proses pemerintahannya. Pemali seorang Mara'dia untuk  melanggar dan itu menjadi patron kepemimpinan. Jika Patron itu dilanggar, maka Appe' Banua Kayyang akan menganulir atau menurunkannya dari tahta.

Hal tersebut terbaca dari ungkapan Tandibella Kakanna I Pattang yang bergelar Daetta Tommuane atau Arajang Balanipa ke-4: “ Naiya Mara'dia, tammatindo dibongi, tarrarei di allo mandandang mata dimerrandanna daung aju, dimadinginna lita', dimalimbonna rura, di ajarianna banne tau, di atepuanna agama. ”(sesungguhnya seorang pemimpin tidak akan terlena dalam lelap tidur dikeheningan malam, tidak akan berdiam diri berpangku tangan di siang hari, namun dia akan terus berfikir dan berupaya serta berikhtiar untuk meningkatkan hasil pertanian, berlimpahnya hasil perikanan, terciptanya ketentraman dankedamaian demi kelangsungan hidup manusia serta sempurnanya kerukunan beragama).

Intinya adalah Mandar tidak pernah menginginkan pemimpin yang akan marruppu-ruppu' banua, Mandar sedini mungkin mempersiapkan pemimpin untuk mappatumballe' lita'. Dari sinilah sehingga Mandar mewajibkan pemimpinnya harus punya karakter Mamea Gambana (Berani, Tegas dan jujur), Tamma' Mangaji (punya kecerdasan intelektual, memahami kondisi geografis dan demografis serta memahami tata kelola pemerintahan), Narete' Panopindang dadzanna (punya pengalaman organisasi kemasyaratan, bukan politisi karbitan), Ketiga karakter tersebut harus terbentuk sebagai pribadi pemimpin. Tujuannya adalah disamping Paindo Naung di Ku'bur Menggara-gara (punya idealisme, gagasan, ide-idenya cemerlang sehingga setelah matipun tetap dikenang oleh rakyat) juga menjadi Labuang Pio namaccappu'i nyawa (Melindungi rakyat kecil, kebijakannya pro rakyat bahkan untuk rakyat kematian bukan masalah baginya).

Inilah konsep kepemimpinan di Mandar yang tidak saja harus dijaga, dilisankan, dituliskan, akan tetapi seyogyanya menjadi acuan dalam memilih pemimpin di jazirah Mandar ini.


Kesimpulan

Dari uraian panjang ini, saya kira menjadi sebuah keharusan kepada penyelenggara, terutama kepada Partai Politik untuk selektif dalam mengusung dan menetapkan Calon Pemimpin. Sebab memilih pemimpin secara serampangan dan karbitan justru akan menjadi sebuah proyeksi pembodohan, pemiskinan dan akhirnya menyengsarakan rakyat.

Jika rakyat tak lagi bisa berdaya, jika rakyat diterlantarkan sistem, jika rakyat tak lagi menjadi prioritas pembangunan, jika rakyat tak lagi bisa menikmati kebijakan pemimpinnya, jika rakyat harus dikuasai dan melayani penguasa, dan jika rakyat hilang kepercayaannya pada pemerintah, maka tunggulah rakyat menyiapkan pemberontakan yang tidak saja menghakimi penguasa tapi juga mengembalikan masyarakat ke zaman siande bau, zaman kacau balau dan tak akan ada lagi dewa penolong yang turun dari langit. Tak ada lagi Tomanurung yang monete di tarauwe untuk menyenangi kita, tak ada lagi Tokombong dibura yang menemani kita, Tak ada lagi Tobisse Ditallang yang bisa menghibur kita, pun tak akan ada lagi Tingalor yang menelamatkan kemanusiaan kita. Yang ada hanyalah paus-paus yang haus dan hanya akan puas melihat rakyatnya mampus !

Komentar