MEREDEFINISI KEMBALI MANDAR SEBAGAI WILAYAH, NILAI DAN SUKU || Sebuah Tanggapan

Catatan Muhammad Munir. 

Akhir akhir ini, Mandar kembali jadi seksi untuk dibincang. Mulai dari kata Mandar sampai slogan-slogan Amandarn semisal Tarrare diallo tammatindo dibongi dan seterusnya. Konten Mandar dan kearifan lokal yang berusia ratusan tahun itu santer menjadi konten paling akrab di jejaring media sosial. Bahkan terkesan Mark, penemu Facebook adalah pembuat aplikasi tentang Mandar.

Sampai disini, saya menemukan status di fb yang tendensinya mengundang polemik yang sesungguhnya tidak penting-penting amat didebati. Kenapa begitu, sebab selama ini memang belum terbangun kesepahaman tentang Mandar  itu, baik sebagai suku, nilai maupun sebagai wilayah geografis. 

Status Opy Muis Mandra yang menyoal terkait pernyataan Mayjen (Purn.) Salim S. Mengga saat acara Konferensi Pers di Rumah Jonga yang menyinggung Mandar sebagai Persekutuan, bukan sebagai suku. Kekhawatiran Opy jangan sampai disalah artikan bahwa Suku Mandar itu tidak ada. Itu adalah kekhawatiran yang tak beralasan. Bahwa kemudian ada yang memang ingin menyalah artikan pernyataan itu, saya yakin orang tak akan percaya, sebab Mandar atau Manda' adalah kosa kata kuno  yang terekam dalam berbagai manuskrip jauh sebelum Forum. Sipamandar atau Passemandaran terbangun dalam assitalliang di Luyo atau dikenal dengan istilah Allamungan di Luyo pada tahun 1602. 

Mandar dalam bingkai Sulawesi Barat ini harusnya tak lagi ada perdebatan tentang makna kata Mandar, sebab sesungguhnya pembacaan terhadap makna kata Mandar sesungguhnya sudah final dalam babad sejarah tanah Mandar. 

Sekilas Mandar Dalam Sejarah Peradaban. 

Mandar (dialek PBB) atau Manda' (dialek PUS) dan Menre' (Bugis versi Lagaligo) secara tekstual memang tak tercatat sebagai sebuah suku. Ia adalah kosa kata yang bermakna sungai. Kata Mandar  sebagai sungai sebangun dengan penyebutan orang-orang yang ada di wilayah geografis Sulawesi Barat. Manda' atau Mandaq ini dikenal dalam kehidupan sosial Masyarakat di wilayah pegunungan seperti Matangnga, Tabulahan dan sekitarnya (baca: PUS). Selain Mandar, penamaan sungai juga ditemukan sebagai Maloso' (peradaban Lembang Mapi dan Passokkorang), Binanga (Banggae dan sekitarnya), Lembang dan lainnya. Artinya bahwa ketika Mandar menjadi nama sungai, kita tentu tak harus marah jika kemudian Mandar adalah nama sungai, bukan suku. 

Mandar identik dengan air, air umunya dimaknai sungai dalam konsensus sejarah peradaban. Elemen air sejak Era Pongkapadang dengan Torine'ne (sekitar tahun 1100-1200). Beliau adalah moyang orang PUS dan PBB, dan keduanya memang belum menamai manamai dirinya sebagai suku Mandar. 
Ratusan tahun kemudian, Tomepayung dan Todijallo menggagas ide Allamungan Batu di Luyo pada tahun 1602 sehingga lahir kesepakatan membentuk wadah persekutuan bagi masyarakat yang ada di 14 kerajaan di Sulawesi Barat ini (baca Paku-Soremana). Dalam forum inilah lahir istilan Sipamanda', Passemandarang dan Sipamanda'. 

Kenapa harus menggunakan Mandar sebagai simbol persekutuan mereka? Karena diantara 14 kerajaan (PUS dan PBB) itu terhubung melalui jalur trasportasi yang mengandalkan sungai. Kontur tanah di wilayah PUS adalah bukit, gunung, lembah dan dataran. Sungailah yang menjadi penghubung antara gunung dan pantai. Kondisi inilah yang membuat mereka sepakat mengusung sungai sebagai persekituan yang dalam perkembangannya dikenal wilayah Konfederasi Mandar. Orang luar kemudian mencatatnya Tomandar dan tertata sebagai suku untuk membedakan georafis mereka dengan Toraja, Bugis dan Makasaar. 1908 ketika Belanda berkuasa, lagi lagi wilayah eks Persekutuan Mandar ini menjadi nama Afdeling Mandar. 

Redefinisi Makna Kata Mandar. 

Dalam berbagai sumber literatur kita memang sejak awal tidak lahir sebagai suku. Ia adalah makna yang sebangun dengan sungai, maloso, Binanga atau Lembang. Fakta-fakta tentang sungai itulah terbabgun filosofi Mandar yang diambil dari elemen air (air yang membentuk sungai. Sungai tanpa air adalah bohong). Filosofi air inilah yang kemudian menjadi nilai bagi orang Mandar karena aktualosasi dari air adalah 'mencari titik-titik terendah untuk menemukan kemuliaannya". Tak pernah terjadi air mengalir ke titik yang paling tinggi. Makna inilah yang memjadi karakter orang Mandar. Lagi-lagi Mandar adalah nilai, bukan suku. 

Lalu kemudian pernyataan Salim Mengga yang memilih kalimat Mandar sebagai sebuah persekutuan saya kira itu normatif-normatif saja tentunya, sebab ia bicara tidak dalam suasana seminar atau lokakarya sejarah. Itu adalah sambutan pada orang yang ada dihadapannya. Narasi yang terbangun mesti Mandar sebagai sebuah persekutuan sebab ia ingin merajit kebersamaan sebagai manusia yang telah diikat dalam sebuah persekutuan di Allamungan Batu di Luyo. Ini fakta yang tak bisa diubah lagi. 

Pun andai kata Salim Mengga mengatakan Mandar adalan  sebuah wilayah geografis, bukan suku. Inipun tak layak didebati, sebab faktanya di Sulawesi Barat ini ada banyak duku dan sub etnis yang mendiami jazirah Mandar Sulawesi Barat ini. Wilayahnya itu mencakup Paku Soremana, dan Seko Kalumpang dengan gugusan pulau yang salah satunya Lelerekang (meski susah dicaplok oleh Kalimantan Selatan). 

Kapan Mandar Jadi Suku? 

Mandar jadi suku sejak sejarah mencatatanya sebagai sebuah peradaban yang punya wilayah, bahasa, budaya, sejarah yang disepakati. Kesepakatan inilah yang menerima Mandar sebagai suku. Jadi saudara Opy Muis Mandra tak usah risau dan khawatir, sebab orang Sulbar sudah faham siapa itu Tomandar (Orang Mandar) , Pammandar (Orang yang datang ke Mandar) dan Toi Mandar (Pemilik Mandar). 

Tomandar adalah mereka yang dari suku lain tapi memilih tinggal dan berdomisili secara turun temurun di wilayah Mandar. Pammandar adalah mereka yang memang datang ke Mandar untuk mencari nafkah, tidak tercatat secara administrasi sebagai penduduk Sulbar. Hal ini sama dengan status orang-orang Mandar yang pergi ke Singapura, mereks disebut Passa'la' atau Passingapura dan lainnya. Adapun Toi Mandar adalah mereka yang secara genetik lahir dari ibu dan bapak dari orang Mandar. 

Kesimpulan 

Pernyataan Salim Mengga adalah seruan perekat yang tujuannya membangun persatuan dan kesatuan. Bukan pada tataran sebagai pembicara seminar resmi. Jadi jangan ditanggapi berlebihan apalagi jika sampai pada persoalan Mandar itu tidak ada. Mandar itu adalah persekutuan, Mandar itu nilai, Mandar itu wilayah dan sampai kepada Mandar sebagai Suku. Yang terakhir inilah yang mesti dibangun kesepakatan bahwa orang Mamasa tak usah dipaksa jadi orang Mandar, mereka juga Toi Mandar (pemilik Mandar), demikian juga orang Mamuju, Budong-Budong, Baras, Kakumpang, Pattae, Pannei, Pattinjo, Pakkado, Pa'denri, dan lainnya adalah Toi Mandar, bukan Pammandar. 

Kepada Saudara Opy, Kankanda adalah salah satu benteng Mandar yang punya kewajiban menjaga Mandar jika ada yang mencoba merusaknya. Kita adalah bangsa Mandar yang terikat dalam satu buhul SULAWESI BARAT yang tahun ini genap berusia 20 Tahun.
Semoga Bermanfaat. 

Komentar