Oleh: Mukhtar
"Keselamatan manusia tergantung bagaimana ia bisa memelihara lisannya", lidah memang tak bertulang", " Mulutmu adalah harimaumu", atau bisa juga dikatakan di era digital sekarang ini, "jari-jarimu adalah singamu".
Doktrin-doktrin tersebut mengenai lisan cukuplah untuk membangunkan kesadaran keberagamaan kita ( consenous religion) yang kadang disepelekan dan tak terhiraukan manakala diri sudah merasa di atas singganasana kehidupan yang cenderung terlena dan lupa diri yang berujung merasa lebih baik dari orang lain, baik dari sisi materi, jabatan, tahta, keturunan, bahkan ilmu sekalipun.
Variable- variable- duniawi tersebut jika jatuh di tangan manusia yang hatinya gersang dari ajaran agama, baik pada level esoterisme terutama esoterisme, sangatlah berpotensi bagi pelakunya jatuh ke jurang keangkuhan-kesombongan.
Iblis pernah mendapatkan hadiah jabatan dari Allah masuk dalam deretan malaikat-malaikatnya sehingga meraih "piagam penghargaan" sebagai seorang Abid-ahli ibadah bahkan mendapatkan gelar besar dalam tingkatan malaikat yaitu Azasil karena ketinggian ilmunya, tiba-tiba semua penghargaan itu berubah menjadi murka Tuhan akibat tidak sedikitpun memberi apresiasi berupa penghargaan kepada makhluk yang bernama manusia karena merasa lebih hebat, lebih pintar lebih berkuasa, dan lebih pantas dari manusia. Kesombongan iblis mengubah jabatannya secara drastis dari Abid dan azazil menjadi laknatullah.
Keangkuhan yang pernah melekat pada iblis dapat merasuki di mana, kapan, dan siapapun termasuk orang alim sekalipun. Dalam sejarah kenabian sosok Fir'aun menjadi salah satu anak manusia yang paling bertanggung jawab karena telah menjadi salah satu pewaris iblis yang paling masyhur di jagad raya ini. Bahkan boleh dianggap Fir'aun adalah simbol keangkuhan dan kesombongan dalam sejarah kemanusiaan.
Al-Qur'an surah Alaraf ayat 12 menginformasikan kata yang dipakai oleh iblis kepada manusia yaitu " aku" aku lebih baik dari manusia. Demikian pula Al-Qur'an surah al-Zurhf ayat 52 menginfomasikankan Fir'aun dengan menggunakan kata" milikku" bukankah kerajaan Mesir ini adalah milikku"
Kata" aku" dan "milikku" tersirat makna yang memiliki karakter narsistik dan eksploratif. Yaitu karakter yang menganggap lebih penting dari orang lain, mengabaikan perasaan orang lain dan ambisi menguras demi memuaskan dirinya.
Sangatlah patut menjadi renungan beberapa abad yang lalu Nabi memberi pesan yang amat doktrinal tentang pentingnya memelihara adab. Nabi mendeklarasikan dirinya bahwa tujuan utama dia diutus adalah untuk mentransformasi kebiadaban manusia menuju hidup yang berkeadaban. sampai-sampai Nabi juga berpesan " Akhlak lebih di atas daripada ilmu".
Kita tidak ingin terlibat begitu intes terhadap fenomena yang sangat viral di media sosial saat ini yang begitu menghebohkan publik, yaitu adanya figur publik yang punya label kealiman yang dinilai oleh berbagai kalangan sebagai bentuk yang tidak menghiraukan adab .sehingga secara implisit dianggap sebagai bentuk pelecehan kemanusiaan kepada masyarakat kecil.
"Nasi sudah bubur" demikian kata pepatah, peristiwa ini sudah menjadi konsumsi publik yang tak terelakkan. Yang jelas ini pasti ada misteri besar dari peristiwa ini sebagai pelajaran bagi kita semua bahwa "" *Tetaplah Beradab Kepada Siapapun"*, Berhati-hatilah berucap dan menggerakkan jemari kepada siapapun karena kedua akan menjadi bomerang yang siap akan menerkam seperti harimau dan singa.
Peristiwa tersebut juga menyiratkan adanya" skenario Tuhan" bahwa bisa jadi karena lisan seseorang yang dianggap sebagai " pelecehan" sebagai pintu datangnya Rezki seseorang.
Wallahu :Alamu Bishshawab
Pinrang. 8 Desember 2024
Komentar
Posting Komentar