MAHRUS ANDIS || MISTERI PUISINYA MENANGKAP SUKMA IBU

Suparman Sopu, Penyair dari Sulbar *):

MISTERI PUISINYA MENANGKAP SUKMA IBU

Oleh Mahrus Andis

Menjadi seorang ibu bagi anak-anaknya, bukanlah sikap kultural yang harus diciptakan. Esensialitas ibu adalah kodrat yang tumbuh pada diri seorang perempuan, melekat sebagai perilaku yang menampung rahmat dan kasih sayang Tuhan. Karena itu, berbahagialah seorang manusia (baik laki-laki maupun perempuan) apabila ia berhasil menangkap sukma ibu dan melahirkan peran ke-ibu-an dalam sikap perilakunya.

Narasi di atas adalah sedimen pemahaman saya setelah membaca puisi Suparman Sopu, berjudul "Ibu, Aku Jadi Ibu". Puisi ini dimuat dalam buku Antologi Bersama "Ibu, Aku Anakmu", halaman 182, produksi Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI) Jakarta, 2024.

Sebelum lanjut, kita nikmati dahulu puisi Suparman Sopu dimaksud.

IBU, AKU JADI IBU

Kini aku juga sudah jadi ibu, Ibu !
Kulalui rasa yang engkau rasakan 
Membawa janin dalam rahim sembilan bulan
Malam dalam ngantuk harus bangun oleh tangis bayiku
Tidak dalam hitungan jam 
Kutimang resah tangis bayi yang panjang 
Kupeluk dalam selimut kasihku yang tulus
Ibu ! Aku yakin engkau lebih dari aku, Ibu !

Pada masa kanak-kanak anakku  
Kulihat masa kanak-kanakku 
Zaman membedakan kerangka hidup 
Aku adalah anak pasir yang riang dalam hujan di alam bebas
Anakku bercengkrama dengan plastik dan berada di ruang-ruang permainan tertutup 
Aku engkau panggil dengan sepotong kayu di tanganmu kala aku melebihi batas
Sedang tanganku kaku oleh aturan-aturan tentang kekerasan pada anak

Ibu, kini aku jadi ibu, Ibu
Aku kuat karena ketegasanmu 
Aku disiplin karena kedisiplinanmu dan lingkunganku
Ibu !
Aku khawatir pada anakku
Kala dia dewasa dan jadi ibu
Tidak seperti aku 
Karena alamku dan alam anakku
Sungguh jauh berbeda.

Mamuju, 20 November 2024

Satu hal yang wajib ada dalam sebuah puisi ialah misteriusitas. Sesuatu yang misterius, setidaknya, bertujuan mencubit kesadaran puitik pembaca untuk merenungkan moral di balik pesan penyair. Puisi tanpa misteri hanya onggokan kata-kata yang tidak menarik untuk dinikmati.

Misteri utama puisi Suparman Sopu terletak pada judulnya: Ibu, Aku Jadi Ibu. Di tataran ini konsep memahami semiotika eksistensi seorang ibu sudah terbaca. Lebih jelas lagi sebab Suparman Sopu adalah sosok seorang suami dan ayah dari anak-anaknya. Hikmah kasih sayang dalam diri penyair membuatnya terdorong menangkap sukma ibu, meletakkan selaras, bahkan melebihi perannya sebagai seorang ayah. Di bait pertama puisinya, ia menulis:

"Kini aku juga sudah jadi ibu, Ibu !/
Kulalui rasa yang engkau rasakan/
Membawa janin dalam rahim sembilan bulan/
Malam dalam ngantuk harus bangun oleh tangis bayiku/
Tidak dalam hitungan jam/
Kutimang resah tangis bayi yang panjang/
Kupeluk dalam selimut kasihku yang tulus/
Ibu ! Aku yakin engkau lebih dari aku, Ibu ! 
..." 
Bagi penyair, peng-agung-an terhadap kemuliaan dan ketulusan cinta seorang ibu itu mutlak. Saking mutlaknya, ia merasakan hadirnya keraguan terhadap kesanggupan anak-anaknya kelak mengemban sifat kodrati peran seorang ibu. Perbedaan zaman, di mana ayah dan anak merentang jarak masa kecil di antara hamparan "pasir" dan ruang "plastik"; menjadi pertanyaan besar di hati penyair. "Mungkinkah kodrat ayah sebagai ibu menetes pula ke anak-anaknya kelak ?". Di sinilah dimensi perenungan itu. Rasa khawatir terhadap kodrat ke-ibu-an tampak jelas diungkapkan penyair melalui bait terakhir puisinya:
"...
Ibu, kini aku jadi ibu, Ibu/
Aku kuat karena ketegasanmu/
Aku disiplin karena kedisiplinanmu dan lingkunganku/
Ibu !/
Aku khawatir pada anakku/
Kala dia dewasa dan jadi ibu tidak seperti aku/
Karena alamku dan alam anakku sungguh jauh berbeda."

Misteriusitas puisi ini mengajak pembaca mengepakkan sayap imajinasi jauh ke ceruk-ceruk masa. Penyair seakan menggiring kita menggeledah diri dan kesadaran anak-anak yang pernah lahir dari rahim seorang ibu. Sebuah tawaran menyeruduk batin, sanggupkah kita mengemban kodrat menjadi seorang ibu, sekaligus melahirkan peran ke-ibu-an bagi anak-anak di tengah perbedaan zaman ? Setidaknya, tawaran ini menjadi misterius ketika ia muncul dari realitas artistik seorang penyair yang berstatus sebagai ayah.

Secara fisik dan semiotik, puisi yang dibahas ini memang belum sepenuhnya utuh. Struktur bait dan metafora terkesan verbal, longgar dan masih perlu intensitas pemadatan linguistik. Proses kondensasi kata menjadi diksi, setapak lagi mencapai gairah puitika yang sempurna.

Atau dengan kata lain, apabila penyair bisa lebih total dalam kontemplasi semiotik maka puisi ini akan menjadi utuh secara bentuk dan isi. Ia akan tampil sebagai puisi yang "memuisi" (pinjam istilah Sapardi Djoko Damono,1980-an). Selamat dan kreatif selalu.

Mks, 29 Januari 2025
__________
*) Dr. Suparman Sopu lahir 1 Februari 1965 di Tinambung, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Selain menulis puisi, ia pun mengarang cerita prosa, mencipta lagu-lagu daerah dan menyanyikannya sendiri. Beberapa karyanya sudah terbit jadi buku.

Komentar