Buku Ibu Agung Hj. Andi Depu Pahlawan dari Mandar karya Muhammad Munir.
Judul: Ibu Agung Hj. Andi Depu Pahlawan Nasional dari Mandar
Penulis: Muhammad Munir
Penerbit: Framepublishing Yogjakarta
Tahun Terbit: Cetakan ke-3 (Edisi Revisi) :Oktober 2020
Jumlah Halaman: Sekira 293
halaman
Genre: Buku Sejarah Lokal
Perensi/ resensator : Adhi Riadi
Di Tanah Mandar, pada sebuah pagi yang sunyi di bulan Agustus 1907, lahirlah seorang bintang kecil dari garis darah para raja. Dialah Hj. Andi Depu, yang kelak menjadi nyala dalam gelap, bara dalam kabut penjajahan. Di masa kecil, ia dikenal sebagai Andi Mania, laksana tunas muda yang masih mencari arah mata angin. Ketika dewasa, ia menjelma menjadi Sugiranna Andi Sura, sosok yang mulai menjejakkan langkah di tanah perjuangan.
Takdir mempertemukannya dengan Andi Baso Pawiseang, penguasa ke-51 Balanipa, persatuan dua darah biru yang melahirkan Parenrengi Depu, sang Yendeng, yang kelak mewarisi takhta sebagai Maradia Malolo, pewaris obor kerajaan ke-52.
Darah pejuang mengalir dari ayah dan ibunya: La’ju Kanna I Doro dan Samaturu, bangsawan Mamuju berdarah Balanipa, keturunan Pakkalobang, penguasa ke-36. Tapi bukan sekadar darah yang menjadikannya pemimpin,melainkan api dalam dadanya yang tak pernah padam.
1942–1945: Bara Itu Menyala
Ketika langit Mandar diselimuti bayang Jepang, Andi Depu muncul bukan sebagai bayangan, tetapi cahaya yang membelah gelap. Pemerintah Hindia Belanda pernah khawatir akan lahirnya seorang pemimpin perempuan dan kekhawatiran itu terbukti. Ia adalah nyala kecil yang menjelma kobaran perlawanan.
Ketika Jepang melarang segala bentuk organisasi politik, Andi Depu justru menyulam semangat perjuangan di balik tirai larangan. Ia memilih meninggalkan istana, meninggalkan kenyamanan, dan berpaling menuju jalan sunyi perjuangan, bersama putranya di sebuah rumah sederhana yang menjelma menjadi benteng semangat.
Fujinkai: Ladang Api dari Perempuan Mandar
Awal 1944, ia menanam benih api dalam bentuk Fujinkai, gerakan perempuan yang tak sekadar merawat rumah, tetapi juga merawat mimpi kemerdekaan. Di ladang ini, semangat juang tumbuh dari tangan-tangan yang lembut namun tak gentar. Suara Andi Depu menggema hingga ke Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba'banna Binanga, menembus batas wilayah, menembus sunyi.
KRIS Muda: Ketika Bara Menjadi Kobaran
Pada 21 Agustus 1945, hanya beberapa hari setelah Jepang menyerah, lahirlah KRIS Muda—Kebangkitan Rahasia Islam Muda. Di balik namanya tersimpan gelora kebebasan, dan Andi Depu berdiri di puncak sebagai panglima bara, memimpin perjuangan demi menjaga kemerdekaan yang masih rapuh.
Seperti api yang menjalar dari satu ranting ke ranting lain, KRIS Muda menyebar ke seluruh penjuru Sulawesi: Makassar, Bone, Bantaeng, Pinrang dan lainnya. Namun, kobaran api selalu mengundang badai. Desember 1946, tangan penjajah NICA menangkapnya dalam gelombang penangkapan besar.
Sekolah Islam: Taman Api dari Timur
Ketika Jepang mulai goyah, di Mandar muncul taman-taman api, sekolah-sekolah Islam, tempat semangat ditempa dengan kedisiplinan. Di sinilah lahir Islam Muda, sebuah bara baru yang ditiup oleh tokoh-tokoh seperti Riri Amin, Daud, H. Mas’ud Rahman, Mahmudy Syarif, dan lainnya—dengan Andi Depu sebagai penyulut utama.
Di Balik Bayang Fujinkai :Perempuan di Barisan Belakang
Meski Fujinkai adalah alat kekuasaan Jepang, bagi Andi Depu itu adalah kuda troya, ia menyusupkan semangat juang di balik tugas formal. Para perempuan dilatih bukan hanya menjahit atau mengobati, tetapi menguatkan tekad menghadapi ketidakadila,bangsanya harus bebas.
Organisasi Pemuda Mandar: Akar yang Merambat dalam Senyap
Saat organisasi lain baru muncul setelah proklamasi, Andi Depu sudah lebih dulu menanam akar perlawanan di Mandar. Ia bentuk Organisasi Angkatan Pemuda Islam, mengisi ruang-ruang sunyi dengan bisik-bisik keberanian. Di balik nama agama, ia cerdik menembus batas larangan Jepang.
Andi Depu bukan sekadar nama dalam buku sejarah. Ia adalah nyala abadi di tanah Mandar, perempuan yang melangkah bukan hanya dengan kaki, tetapi dengan hati dan bara semangat. Ia membuktikan bahwa tanah ibu bisa menjadi pijakan perlawanan, dan rahim perempuan bisa melahirkan lebih dari anak, ia melahirkan bangsa yang bebas.
Komentar
Posting Komentar