(Edisi ke-5) Mamoko dzi Lembang

Sepulang sekolah di SD Negeri Lamasariang, kami bocah-bocah bergegas pulang dengan langkah riang. Matahari sudah condong ke barat, sinarnya memantul di daun kelapa yang bergoyang ditiup angin siang. Di rumah,  sudah tersaji makan siang sederhana: ande madzinging, pissang rottana mimbumbung di pindang. Di sudut meja saya mambualle` pa`annang pattombong, isinya  kappar  buritt` tombong, hanya ada temba-tembang jo’jo yang sudah berendam minyak Mandar, lengkap dengan tiga atau empat biji cabai rawit setan—disebut setan karena pedasnya melampaui batas.

Setelah perut terisi, kami pun bersiap. Sabir, Sudirman, Pinggi, Kaco More, Burhan, dan Saprianto berlari-lari kecil ke rumah Kama Canduru di Timbo. Kami pun berangkat, menapaki jalan tanah dan batu padas yang membelah kebun kelapa. Sepanjang perjalanan,  Lamasariang ke Timbo melewati bakar tallu rumah Kindo Maarifah dan Ngali, melewati jamabatan tomissang molo, mata kami dimanjakan oleh hamparan hijau, suara burung-burung, dan cahaya mentari yang menari di atas batang pohon . Di antara semak, kami saling berlomba, tertawa terbahak hingga napas tersengal. Dunia terasa luas, dan kami hanyalah bocah-bocah yang sedang bersekutu dengan kebahagiaan.
Canduru sudah menunggu bersama adiknya, Tanda. Kami saling menyapa, tertawa lepas, lalu mengikat janji untuk petualangan sore itu: Mamoko dzi Lembang. Di pinggir kampung, suara ayam berkokok bersahut dengan desir angin, Siang itu, langit biru meneteskan cahaya di sela pohon-pohon di pinggir kampung. Punna bakar berdiri teduh, daun lebarnya menari, buah bakar menggantung bagai lentera hijau. Di dekatnya, punna tomissang merimbun, rantingnya digoyang angin, menyimpan aroma manis dari buah yang mulai ranum. Sementara di sepanjang tanah di sana , punna anjoro menjulang, pelepahnya melambai seperti lambaian laut, menyimpan air kehidupan dalam buah yang bergelayut. Di bawah bayang pohon-pohon itu, siang hari terasa ramah, seakan kampung ini bernafas damai dalam pelukan alam.

Sampailah kami di lembang, sebuah bendungan alami yang dijaga oleh anyaman daun kelapa. Obor-obor kecil, atau sulo, tertata rapi menahan air agar tak mengalir bebas. Airnya jernih, berkilau bagai kaca, memantulkan bayang pepohonan yang menjulang di sekitarnya. Gemercik air mengalun di antara bebatuan, seolah menyanyikan lagu lama yang hanya dipahami oleh mereka yang tumbuh di kampung ini.

Di dalam bendungan, ikan, kepiting, dan udang menunggu saatnya dipanen. Air yang tertahan dialirkan ke sisi lain, ditampung dalam bak buatan alami yang ditimbai airnya. Ada yang menguras dengan gayung, ada pula yang terjun langsung, memulai petualangan mamoko—menangkap ikan, kepiting, dan udang dengan tangan kosong. Kami bersorak, tertawa, dan saling menggoda. Lumpur menempel di kaki, tapi wajah kami bersih oleh tawa.

Yang paling seru adalah saat Sudirman menangis menjerit,  karena nasikki i bu’ang!” Teriakan itu menjadi aba-aba untuk kami saling mengejar sambil ciprat-menyipratkan air. Tubuh kami basah kuyup,  hanya celana melekat di kulit, tapi tidak ada yang peduli. Kami larut dalam kegembiraan yang tak bisa dibeli oleh apa pun, apalagi oleh layar kaca atau gawai yang kini merajai dunia anak-anak.

Sore menjelang, langit Timbo  berubah jingga. Kami pun mengumpulkan hasil tangkapan, lalu kembali ke rumah Canduru. Di sana, kindo Canduru sudah siap dengan tungku api, menyambut kami dengan senyum. Udang, ikan, dan kepiting itu dimasak, ada juga loka piapi dan lameayu piapi—dua hidangan khas yang membuat aroma dapur menyeruak ke setiap sudut rumah panggung. Kami duduk melingkar, tangan kecil ini lahap menyantap setiap suapan, ditemani gelak tawa dan cerita-cerita lucu.

Ketika senja turun perlahan, kami pulang dengan langkah gontai tapi hati penuh bahagia. Jalan tanah  batu padas  senja hari masih  terasa hangat di telapak kaki. Di kejauhan, di mesjid lamasariang sudah pelloa pala, menandai hari yang hampir selesai. seolah menyimpan rahasia masa kecil yang tak akan pernah kami lupakan.

Lamasariang  itu adalah surga kecil yang tak ternilai. Di sana, kami belajar tentang kebersamaan, tentang tawa yang tulus, dan tentang betapa indahnya hidup yang sederhana. Dan ketika langit berubah gelap, kami menatap bintang pertama di cakrawala dengan hati yang damai, seolah mendengar bisikan leluhur: “Jagalah tanahmu, cintai kampungmu, karena di sanalah bahagia bermula.”

Begitulah Mamoko dzi Lembang—bukan sekadar cerita masa kecil, melainkan kenangan yang akan selalu hidup di relung jiwa kami. Sebuah kisah tentang alam, persaudaraan, dan cinta yang tak lekang oleh waktu. Lamasariang, engkau selalu indah dalam ingatan.

Komentar