Catatan Muhammad Munir
Secara umum, mereka yang lolos sebagai wakil rakyat di Senayan adalah representasi dari harapan masyarakat dari dapil sang wakil. Mereka yang lolos kemudian berusaha untuk bisa menggiring program kerakyatan ke dapil masing-masing. Tentu saja, yang bisa menggiring program pro rakyat itu tak memiliki peluang yang sama, sebab mereka yang menjadi wakil rakyat itu juga tak semua fokus untuk memikirkan kepentingan rakyat. Tak jarang kita menemukan wakil rakyat yang turun hanya gagah-gagahan dihadapan rakyat yang mencoblosnya pada saat pemilu.
Sepanjang yang saya fahami, dari Pemilu 2009, setidajnya terdapat H. Hendra Singkarru yang booming dengan program PPIP dan kegiatan lain terkait pertanian. Lalu muncul nama Andi Ruskati Rajab dengan program PKH-nya. Belakangan muncul SDK dengan program saprodi dan saprotan yang diakui sangat bermanfaat membantu para petani dalam meningkatkan pendapatan perkapita masyarakat Sulbar. Demikian juga Ratih Megasari Singkarru yang concern memperjuangkan beasiswa bagi masyarakat yang tak punya kemampuan membiayai anak-anaknya melanjutkan pendidikannya mulai dari SD sampai ke jenjang perguruan tinggi. Program PIP-KIP menjadikan putri Hendra Singkarru berada dalam sorotan mata tajam lawan politiknya.
Adakah yang salah jika mereka tampil sebagai wakil rakyat dengan membawa sejumlah program yang bermanfaat bagi masyarakat yang diwakilinya? Nyaris tak ada yang komplain ketika mereka turun dengan label PPIP PKH, dan Saprotan atau lainnya. Itu sebelum era Pemilu dan Pilkada. Ketika perhelatan Pileg dan Pilkada akan digelar, program pro rakyat ini disorot, dihujat dari berbagai arah. Lucunya, Ratih Megasari Singkarru menjadi pesakitan. Ia terhukumi menjadi pelaku politisasi program pemerintah. Terutama saat tahapan Pilkada setentak dimulai. Program PIP seakan tak punya manfaat, sebagian lagi menggiring opini bahwa PIP KIP hanya janji dan tak mampu direalisasi. Siapa palakunya? Tentu saja pelakunya adalah media yang punya relasi dengan paslon diluar dukungan Dirga AP Singkarru dan Iskandar. Termasuk juga pasangan SDK dan JSM ikut tersandra karena Nasdem menjadi salah satu pengusung di Pilgub Sulbar. Media media itu tumbuh bak jamur memberitakan hal yang sama dengan narasi yang tak balance. Mereka mencari informan yang disulap seolah jadi korban janji pemilu Singkarru Family.
Sebegitu tinggikah efek Ratih dan programnya terhadap potensi kemenangan Dirga dan SDK?. Bisa jadi iya, sebab program ini berkelindang dengan peningkatan elektabilitas pemilih melalui program beasiswa KIP (Kartu Indonesia Pintar) dan PIP (Program Indonesia Pintar) di Kabupaten Polewali Mandar. Hal tersebut bisa dilihat dari persentase penerima beasiswa dibandingkan dengan total jumlah penduduk dan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Contoh kecil persentase penerima beasiswa terhadap jumlah penduduk yang ada di Polman. Asumsi dasar penerima 40.000 siswa (angka perkiraan) jumlah penduduk Kabupaten Polewali Mandar 495.371 jiwa. 40.000 : 495.371) X 100 = 8,08%.
Jika penerima beasiswa: 40.000 siswa dengan jumlah DPT: 345.281. Kalkulasinya adalah 40.000: 345.281) X 100 = 11,58%. Ini jika dikalikan dengan jumlah penerima saja. Bagaimana jika bapak dan ibu penerima beasiswa itu ternyata ikut sama anaknya ikut mendukung? Maka kalkulasi kemenangan ini tentu akan membuat lawan ketar ketir dan menghalalkan segala cara untuk meretas pergerakan yang terpusat di Rumah Aspirasi Ratih Megasari.
Kondisi ini akan semakin menjadi jadi menjelang 27 November 2024. Tapi apakah rakyat (penerima PIP) akan termakan dengan berita kampungan macam itu?. Saya yakin itu tak akan terjadi dan endingnya, mereka adalah paslon yang tak punya kreatifitas yang mumpuni dibanding dengan paslon Dirga-Iskandar
SDK - JSM.
Akhirnya saya ingin mengatakan, carilah cara yang lebih elegan dan bermanfaat untuk bisa menjadi pemenang dalam kontestasi Pilkada tahun ini. Jangan ada lagi black campagn yang sesungguhnya hanya akan merugikan diri dan paslon yang telah didaftarkan ke pihak penyelenggara.
Komentar
Posting Komentar