Oleh: Mukhtar
Seorang filosof yang amat kritis asal Indonesia, sering menggunakan terminologi " akal sehat" dalam mengelaborasi berbagai diskursus kebangsaan. Diskusinya tentang kebangsaan seringkali dibalut dengan kacamata filsafat. Argumen-argumennya dibumbui dengan diksi yang sangat retorik.
Fikiran-fikirannya yang tajam terkait dengan persoalan kebangsaan, politik dan sosial, digandrungi oleh kelompok akademik yang _notabene_ nya dianggap sebagai makhluk rasional yang bersarang di alam pemikiran kampus.
Mungkin tidak terlalu salah jika dia dianggap satu-satunya filosof asal Indonesia yang sering mendeklarasikan tentang " akal sehat ". Sangking semangatnya membangun akal sehat sampai-sampai dijuluki sebagai " presiden akal sehat"
Tesisnya tentang "akal sehat" bisa ditebak dilatari dengan situasi kemanusiaan di kalangan tertentu yang sudah kehilangan akal sehat, bahkan melecehkan akal sehat. Penggunaan rasionalitas di berbagai segmen, akal sehat sudah tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya.
Akal yang sudah terkontaminasi dengan watak materialis, hedonis, akan mengaburkan mata hati untuk melihat kebenaran. Akal sehat yang awalnya diciptakan secara natural untuk berfikir yang benar dan baik, bisa jadi akan berbalik seratus derajat jika tidak sering diberi nutrisi berupa pentingnya kesadaran moralitas.
Mengapa banyak berseliweran di tempat yang dihuni oleh orang-orang yang waras bahkan memiliki tingkat kewarasan melebihi tingkat kewarasan orang-orang awam, justru terjerembab dalam perilaku " kegilaan" karena terputusnya syaraf cahaya kebenaran dari potensi ke-Tuhanan.
Keanehan-keanehan yang diadegankan oleh orang waras tertentu, justru mengindikasikan bahwa perilaku itu adalah perilakunya orang yang tidak waras. Transformasi-transformasi wujud manusia betul-betul akan mengalami degradasi dan dekandensi sampai pada tingkat yang mengerikan jika akal sehat tidak dijaga baik-baik.
Fenomena transformasi wujud manusia akan tampil dalam berbagai bentuk wajah. Kewarasan akan berubah menjadi kegilaan, intelektualitas berubah menjadi kedunguan, keadaban merubah menjadi sindikat, rendah hati akan menjadi keangkuhan, qona'ah akan berubah
Menjadi ketamakan, kejujuran akan berubah menjadi kemunafikan, kesalehan akan berubah menjadi kedurhakaan, kesyukuran akan merubah menjadi kekufuran. Kasih sayang akan berubah jadi kebengisan dan lain-lain.
Lantas mengapa akal sehat tidak selamanya bercokol di kepala manusia. Manusia adalah makhluk paradoksal yang telah dianugerahi potensi yang selalu menciptakan dialektika dalam dirinya yaitu pertarungan sengit antara malaikat dan iblis. Dalam bahasa agama _" Wahadai nahunnajdain"_( saya berikan anda dua jalan) demikian kata Tuhan yang memberikan alternatif kepada manusia untuk memilih dua jalan apa jalan kanan atau ke kiri. Mau menjadi manusia waras atau mau menjadi manusia gila.
Dalam redaksi yang sebangun: _" Faal hamaha fujura watawwaha"_( Allah memberi potensi untuk berbuat fujur dan takwa). Potensi untuk mewaraskan akal dan potensi untuk menjadi gila juga adalah pilihan bebas manusia. Apakah kita mau mengembangkan potensi akal itu menjadi akal yang sehat atau membiarkan potensi akal itu tetap dalam wadah yang stagnan dengan tidak berusaha untuk mendidiknya, sehingga dia tetap terkungkung dalam " penjara kejahilan".
Mengasah dan mendidik akal sehat, Allah banyak menggunakan redaksi-redaksi yang berbeda yang semuanya bermuara pada pentingnya memelihara akal sehat, seperti: _apalata'qilun, apala tatadabbarun, apalayanzdurun, Ulul albab._
Kalau boleh ditafsir secara kontekstual bahwa Kalimat-kalimat yang berbentuk pertanyaan (istifham) dari teks tersebut juga disertai dengan penegasan secara implisit bahwa Allah berfirman dan bertanya kepada manusia " kalian sudah diberikan akal, mengapa kalian tidak menggunakannya sesuai dengan logika berfikir orang-orang yang sehat, apakah kalian sudah tidak waras?
Namun harus digaris bawahi, bahwa Pertanyaan ini bukan ditujukan kepada orang gila yang stres karena terputus urat sarapnya, tetapi ditujukan kepada orang waras yang tidak menggunakan akal sehatnya di bawah bimbingan-Nya. Akalnya digunakan untuk berbuat manipulatif, menyelewengkan kebenaran di atas kepalsuan.
Orang yang gila karena sarafnya terputus, jika melakukan kesalahan atau melanggar hukum, maka dia bebas dari hukuman. Tetapi jika orang-orang waras yang gila melakukan sindikat, Pasti tidak akan terbebas dari hukuman baik di dunia lebih-lebih di akhirat kelak.
Pembertahankan potensi ke-Tuhanan dalam diri adalah hal yang sangat penting dalam situasi apapun. Sebab jangan sampai kecerdasan yang kita bangun selama bertahun-tahun akan runtuh seketika "ketika datang " gelombang sunami kegilaan" yang akan meluluhlantahkan harga diri seseorang.
_Wallahu 'alamu bishshawab_
Polewali, 16 Desember 2024
Komentar
Posting Komentar